Pangeran Diponegoro, Sang Pahlawan Besar

diponegoro-mOleh: Ganis’ Site

Diponegoro terlahir bernama Raden Mas Ontowiryo, adalah putra sulung dari Sultan Hamengku Buwono III (HB III) atau disebut juga sultan Raja, lahir pada hari Jumat Wage, 8 Muharram tahun Be 1712 Wuku Wayang, atau masehi 11 Nopember 1785 di Yogyakarta. Diponegoro sebagai seorang anak raja maka lelaki berdarah biru ini mendapat gelar kebangsawanan tertinggi di Jawa yaitu Pangeran didepan namanya. Raden Mas Ontowiryo sejak muda diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng adalah janda Sultan HB I, yang tinggal di Tegalrejo, Yogyakarta. Dalam asuhan Ratu Ageng yang dikenal sebagai pribadi yang taat dan saleh ini Diponegoro mempelajari dan memperdalam ilmu agama dan kebatinan serta sejarah. Kitab agama dan Jawa kuno yang mengandung ajaran hukum dan ajaran keluhuran rohani, dan hal inilah yang menjadikan pemuda Ontowirya sebagai orang yang sederhana hidupnya, saleh, dan taat menunaikan kewajiban agamanya. Ketaatan dan kesederhanaannya juga diakui kawan atau lawannya, sebenarnya sebagai putra raja, bisa saja hidup bersenang-senang dengan bergelimang kemewahan, namun dia lebih memilih hidup sederhana di luar tembok istana, di tengah rakyat yang saat itu sedang mengalami penderitaan yaitu tepatnya di desa Tegalrejo, barat kota Kerajaan Yogyakarta.

Pada kepemimpinan HB V (1822) yang masih berusia 3 tahun, karena masih kecil maka kepimpinannya dilakukan dengan perwalian dan pemerintahan sehari-hari dipegang Patih Danurejo dan Residen Belanda, dan Diponegoro menjadi salah satu anggota wali. Cara perwalian dimana ada wali dari pemerintah kolonial Belanda inilah yang tidak disetujui Diponegoro karena menjadikan ketergantungan kerajaan pada kekuasaan asing. Termasuk juga kultur Barat telah merasuki kerajaan, misalnya meluasnya peredaran minuman keras, baik di kalangan bangsawan maupun rakyat kebanyakan. Sehingga dalam menghadapi Belanda posisi Sultan sangat lemah dengan kesan diperintah penjajah, begitu mencolok. Selain itu Belanda merampas tanah-tanah milik rakyat serta bangsawan yang tidak disukai untuk dijadikan perkebunan pengusaha Belanda.

Sebenarnya dibalik semua itu adalah sebuah kepedihan hati sebagai seorang Pangeran atau putra Sultan melihat tingkah laku pemerintah kolonial Belanda saat itu dalam keinginan menguasai wilayah Jawa secara penuh dan melemahkan pemerintahan kesultanan. Karena mengetahui ketidaksetujuan Diponegoro pada cara-cara Belanda menghancurkan kekuasaan pemerintahan kesultanan Yogyakarta, maka Belanda melakukan siasat jahat yaitu dengan menuduh Diponegoro menyiapkan pemberontakan dan mengangkat senjata melawan Belanda gara-gara kecewa ia tak diangkat menjadi raja, sungguh sebuah fitnah. Setelah Diponegoro mengundurkan diri dari keanggotaan Dewan Mangkubumi, ia pun menetap di Tegalrejo. Belanda mengetahuinya dan menyerang Tegalrejo pada tanggal 20 Juli 1825. Pasukan Diponegoro lalu berpindah ke Selarong, sebuah daerah yang berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya.

Perjuangan Diponegoro mendapat sambutan dari berbagai pihak: bangsawan, ulama dan petani. Mereka menggabungkan diri, termasuk seorang ulama besar Kyai Mojo, dan Sentot Alibasah Prawirodirjo, seorang bangsawan yang kemudian menjadi panglima utamanya. Pangeran Mangkubumi bertindak sebagai Panasihat Agung, Pangeran Ngabehi Jayakusuma sebagai panglima besar yang dalam sebuah pertempuran gugur dan dimakamkan di bukit Singi, daerah aliran sungai Progo, sebelah barat Kota Yogyakarta.Karena kewalahan atas serangan pasukan Diponegoro maka Belanda menjanjikan uang sebanyak 20.000 ringgit bagi siapa yang dapat menangkap Diponegoro hidup atau mati. Tetapi rakyat tak dapat dikelabui dan mereka tak mau menghianati pemimpin yang mereka cintai. Akhirnya Belanda menukar siasat perangnya dengan sistim benteng stelsel pada tahun 1827.

Di mana-mana Belanda mendirikan benteng-benteng di daerah-daerah yang sudah diamankan dan dikuasai, di antara masing-masing benteng itu dihubungkan dengan jalan sehingga komunikasi dapat dijalankan dengan mudah, sehingga ruang gerak pasukan Diponegoro menjadi sempit, dan juga mengerahkan bantuan dari negeri Belanda lebih dari 3.000 pasukan. Suatu hari tersiarlah kabar bahwa pasukan Diponegoro terdesak, maka Pangeran Mangkubumi menemui Diponegoro dan mengingatkan agar Diponegoro menyingkir saja dari Tegalrejo. Diponegoro akhirnya menuruti nasihat sang paman, bahkan sang paman ikut bersamanya, mereka bisa lolos dari kejaran Belanda, dan menyusuri jalan-jalan tersembunyi sampai tiba di sebuah goa yang diberi nama Goa Selarong, yang selanjutnya dijadikan markas pasukan Diponegoro. Lambat laun perlawanan Diponegoro telah menyedot simpati rakyat. Dukungan demi dukungan mengalir, memperkuat pasukan Diponegoro. Saat itu Diponegoro menegaskan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Dipihak lain Belanda terus membujuk beberapa tokoh perlawanan agar menghentikan perang.

Sebenarnya Pangeran Diponegoro tidaklah menghadapi Belanda saja tapi juga rakyat Jawa sendiri yang menjadi pengkhianat atau begundal. Tentara Belanda sejatinhya juga tidak banyak, mereka hanya dibantu pengkhianat saja dalam jumlah besar. Dalam Perang Jawa atau perang Diponegoro, Belanda berpihak pada penguasa keraton yang sah, yakni Sultan Hamengku Buwana III dari Yogyakarta. Dengan kata lain, bertambah kuatnya kekuasaan Belanda setelah penindasan pemberontakan Diponegoro sebenarnya mengikuti pola tradisional. Dalam perang-perang tahta Mataram sebelumnya, atau pada saat palihan Nagari Mataram (1755), Belanda memihak raja yang sah dan kedudukannya makin diperkuat melalui perjanjian dengan raja yang sah yang dibantu Belanda dan tidak karenan penundukan penguasa Jawa. Belanda adalah semata-mata penjaga status quo masyarakat ancien atau feodal Jawa. Penguasa-penguasa Jawa sebenarnya menerima kolonialisme Belanda ini, sebab dengan penerimaan ini kekuasaan mereka ikut dijamin oleh Belanda. Sebaliknya makin erat persekutuan Belanda dengan raja makin timbul fraksi-fraksi dalam keraton dan masyarakat yang menentangnya. Di satu pihak, kehadiran Belanda mendukung kedudukan politis raja yang menjadi lebih mutlak, dan dilain pihak ia mengundang perpecahan.

Menyadari bahwa tidak akan pernah bisa menang tanpa penderitaan rakyat biasa, setelah berperang hampir 5 tahun, Pangeran Diponegoro menyetujui penyelesaian secara perundingan. Maret 1830 Diponegoro bersedia melakukan perundingan di Magelang, tetapi itu hanya taktik Belanda saja. Diponegoro ditangkap oleh Belanda melalui tipu muslihat. Hari itu adalah hari suci umat Muslim (Idul Fitri 1245H). Diponegoro dengan hati suci pun menerima undangan dari Belanda, yang katanya tak akan merusak kesucian hari besar ini. Selama ini memang Diponegoro sangat sulit dan tidak pernah mau berkompromi serta percaya kepada apa yang dijanjikan Belanda. Namun pada hari yang suci itu beliau bersedia. Suasana masih diliputi kesucuian dan kehidamatan. Diponegoro datang untuk bermufakat. Namun bukan mufakat yang didapat melainkan Diponegoro ditangkap. Diponegoro minta diasingkan saja ke Mekkah. Belanda menyanggupi, namun sebelum ke Mekkah kata Belanda singgah dulu ke Manado. Janji untuk dibuang ke Mekkah pun tak kunjung datang, hingga kemudian Diponegoro wafat di Makassar, 1855.

Perang Diponegoro, yang disebut Belanda sebagai perang Jawa ( 1825 – 1830 ) salah satu peristiwa yang menentukan sejarah pulau Jawa. Ia merupakan peristiwa yang memisahkan dua zaman, yakni zaman Ancien Regime raja-raja Jawa dan zaman Kolonialisme Belanda yang penuh. Baru setelah tahun 1830, kita dapat membicarakan zaman kolonialisme Belanda yang sebenarnya di Jawa, dan tidak sebelumnya. Perang Diponegoro dianggap Belanda sebagai perang yang mensahkan kedudukan mereka di Jawa. Sebaliknya orang Indonesia memandang perang ini sebagai perlawanan besar yang terakhir seorang pangeran, terhadap kekuasaan Belanda. Baru kelak dalam abad ke 20, dengan munculnya pergerakan-pergerakan yang disebut nasionalisme, kekuasaan Belanda sekali lagi ditentang dalam skala ” Nasional ”

Perang Jawa ini merupakan perlawanan elite bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, sementara 200.000 orang Jawa tewas. Sehingga jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Soal daya juang Diponegoro ini, Belanda pun mengaguminya.

“Kita sungguh-sungguh harus mengagumimu, Pangeran Diponegoro, yang sungguh pun terus-menerus menderita pukulan dan ditimpa kemalangan, kehilangan sanak-saudaranya yang terdekat, panglima perangnya yang paling cakap, namun masih juga kuat dan berani menggerakkan perlawanan menghadapi tentara kita terus-menerus,”

kata Kapiten J.P. Schomaker, seorang opsir Belanda

6 respons untuk ‘Pangeran Diponegoro, Sang Pahlawan Besar

  1. Ya..Pangeran Diponegoro adalah sosok suci yang patut diteladani, jujur, ikhlas, positip thinking, sampai akhirnya LONDO harus menggunakan tipu muslihat tingkat tinggi untuk menangkapnya.
    Capres PRABOWO SUBIANTO adalah satu keturunan beliau, semoga mengalir darah kepahlawanan DIPONEGORO. Amiin

  2. Perjuanga semesta manifestasi dari manunggaling kawulo kalawan Gusti, Sungkem Kagem Kanjeng Pangeran Diponegoro

  3. Seorang Pangeran [ anak raja ,pemegang tahta calon raja yang rela meninggalkan istana], gabung sama rakyat jelata, hidup dan makan seadanya dimedan laga, tanpa pamrih dalam hidupnya, kecuali untuk rakyat, negeri [ tanh air] dan demi ALLAH semata.

Tinggalkan komentar