Pemerintah Diminta Konsisten dalam Menyusun Kebijakan Sektor Strategis Nasional

Ilustrasi. Foto: dok MI.

Oleh: Eko Nordiansyah

Jakarta: Pemerintah diminta bersikap tegas dan konsisten dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan sektor strategis guna melindungi kepentingan nasional. Dengan demikian, ancaman, tantangan, gangguan, dan hambatan (ATGH) untuk mencapai cita-cita negara dapat diatasi.

Ahli Hukum dan Kebijakan Publik, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Kris Wijoyo Soepandji mengatakan, masa depan Indonesia ditentukan oleh perlindungan sektor-sektor strategis. Oleh karenanya, perumusan kebijakan harus berpihak dan mendukung kepentingan nasional.

“Dalam kebijakan hukum, kepentingan nasional, itu yang paling utama. Tugas hukum tujuannya menciptakan harmoni di masyarakat, jangan sampai sebaliknya,” kata dia dalam webinar, Rabu, 15 Juni 2022.

Kris menyebutkan, sektor-sektor strategis yang berkontribusi besar kepada negara, seperti sektor pertambangan, perikanan, pertanian, dan perkebunan yang di antaranya gula, kelapa sawit, serta tembakau seringkali mendapat tekanan dari berbagai pihak.
 
Menurutnya, perlu dicari solusi atas polemik terhadap perumusan kebijakan di sektor tersebut yang mengakomodir kepentingan semua pihak yang terlibat. Jangan sampai, lanjut Kris, pemerintah hanya mendengarkan suara dari satu pihak yang memiliki kepentingan tertentu.
 
“Gula adalah komoditi yang penting, tapi sekarang jadi bahaya bagi kesehatan. Pertanyaannya, apakah mungkin gula dihilangkan? Kelapa sawit juga mengganggu alam, tapi bagaimana caranya agar tidak mengganggu alam namun tetap memberi nafkah para petani? Itu yang harus dicari (solusinya),” ungkapnya.
 
Menanggapi hal ini, Kris mengungkapkan, dibutuhkan internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam proses perumusan kebijakan agar produk hukum yang dibuat dapat merepresentasikan kepentingan nasional dan menciptakan harmoni pada tatanan masyarakat.
 
“Faktor hukum dan etika (legal and ethical advantages) adalah faktor penentu yang dapat memenangkan persaingan global di masa depan. Pertarungan masa depan itu tak lain tak bukan adalah legal and ethical advantage. Kalau Pancasila itu dikecilkan nilainya, itu bagian dari kekalahan secara legal,” ujar dia.
 
Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pancasila FH UI, Bono Budi Priambodo menjelaskan, seharusnya hubungan antara pemerintah dengan masyarakat bersifat dua arah. Sehingga perumusan kebijakan melibatkan masyarakat yang memiliki kepentingan dan dibuat atas dasar kepentingan semua pihak.
 
“Pengaturan ini adalah masalah bersama. Harusnya sama-sama duduk bareng, membicarakan kepentingan masing-masing, menemukan kesamaan tujuan yang ingin dicapai. Ini yang disebut smart regulation,” kata Bono.
 
Pelibatan masyarakat atau stakeholder terkait, menurut Bono, merupakan implementasi nilai Pancasila yang seharusnya menjadi budaya bangsa Indonesia, yaitu musyawarah untuk mendapatkan hasil yang mufakat. Proses ini juga menciptakan sinergi positif antara pemerintah dan masyarakat.
 
“Berbagai pendapat harus dipertimbangkan untuk mencapai solusi bersama dan menghasilkan suatu mufakat. Dalam pengambilan keputusan, hasil musyawarah harus menerapkan prinsip keterbukaan dan tidak memaksakan kehendak,” pungkas dia.

Tinggalkan komentar