KPK di Ambang “Sakratul Maut”

Oleh: Suhardi

Hari-hari sulit, kini sedang melanda Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yakni hari di mana perjuangan melawan korupsi sedang diuji. Ujian itu terasa menyesakkan dada ketika satu persatu komisionernya dilaporkan kepada pihak kepolisian. Entah benar ada atau dibenarkan, semuanya dijerat kasus hukum. Dimulai dengan ditangkapnya Bambang Widjajanto dengan jeratan pasal 242 juncto pasal 55 KUHP perihal Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu. Disusul dengan serangan bertubi-tubi kepada Abraham Samad, Adnan Pandu Praja dan juga Zulkarnain.

Sebagai anak kandung yang lahir dari rahim reformasi, keberadaan KPK menjadi harapan segenap anak bangsa. Harapan tinggi itu digantungkan kepada pundaknya untuk memberantas penyakit akut bangsa, yakni korupsi. Penyakit yang telah merusak perekonomiandan sendi-sendi kehidupan.

Harapan tinggi anak bangsa kepada KPK memang tidak mengecewakan dan telah terbukti. Di usianya yang masih muda, KPK telah berhasil menyelamatkan keuangan negara sekitar Rp153 triliun.Telah menangani kasus-kasus besar yang melibatkan berbagai pihak. Mulai dari pihak eksekutif, legislatif bahkan yudikatif pun tak terlepas dari jeratan KPK. Suatu keadaan yang tidak pernah kita lihat dilakukan oleh penegak hukum lainnya (bukan bermaksud membandingkan), tapi itulah realitasnya.

Bagi rakyat, korupsi adalah musuh yang harus ditumpas dan dilenyapkan dalam diri bangsa Indonesia. Penyakit ini telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat serta mengamputasi hak-hak masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan. Bahkan bila tidak diatasi dengan baik, penyakit ini akan terus menggerogoti negara dan menjadikannya lumpuh tak berdaya.

Tapi, pekerjaan melawan korupsi bukanlah pekerjaan mudah, apalagi penyakit korupsi telah beranak-pinak pada bangsa ini. Peter Eigen, Ketua Dewan Direktur Transparency International, menyebut korupsi adalah salah satu dari sekian banyak tantangan besar abad ini. Melawannya perlu kekuataan yang dahsyat, sebab bila tidak, bukan penyakitnya yang hilang. Malah kekuatan untuk menumpas itu akan hancur sehingga tidak punya kekuatan lagi.

Kini, kekuatan besar KPK terkesan sedang dilemahkan. Ibarat kepiting, satu persatu kaki-kakinya dipotong. Tujuannya agar kepiting tidak bisa lagi berjalan dan menjepit para koruptor. Bila benar “kaki-kaki kepiting” dipotong satu persatu, itu artinya KPK sedang mengalami sakratul maut. Untuk menyelamatkannya dari kematian perlu dukungan masyarakat dan perhatian yang serius dari pemimpin bangsa ini. Penanganannya tidak bisa dengan obat generik saja (baca: penyataan-pernyataan normatif), tapi perlu obat yang langsung bereaksi terhadap sumber penyakit (baca: masalah). Sebagaimana yang diungkapkan mantan komisioner KPK Chandra Hamzah, letak penyelesaian ada pada tangan Presiden Jokowi.

Sebagai rakyat kita hanya mengingatkan kepada Presiden Jokowi agar lembaga KPK ini diselamatkan dari berbagai ancaman. Apa yang terjadi pada KPK sekarang telah meninggalkan pesan, bahwa lembaga ini begitu mudah dihambat kerjanya. Artinya KPK akan mengalami serangan balik bila menggarap kasus-kasus yang melibatkan lembaga-lembaga yang mempunyai kekuatan. Untuk itu, pemberian hak imunitas terbatas layak diberikan pada komisioner KPK. Sehingga perjuangan melawan korupsi bisa dilaksanakan secara maksimal tanpa ada gangguan dari berbagai pihak.

Menilik kondisi KPK sekarang sungguh sebuah ironis bagi lembaga yang menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi. Perjuangan melawan korupsi telah melahirkan perlawanan yang teramat dahsyat dan mengancam nyawa lembaga anti rasuah ini. Semoga “sakratul maut” ini tidak berujung pada kematian.***

Suhardi
Alumnus Pascasarjana UKM Malaysia

Tinggalkan komentar