Tambang Dikuasai Asing, Rakyat Jadi Penonton

Oleh: inilah.com

MAXSASA Kadepa, warga Mimika, sudah puluhan tahun hidupnya pas-pasan. Hidupnya dari dulu miskin. Padahal, rumahnya tak jauh dari pabrik tambang emas, PT Freeport Indonesia, perusahaan asal Amerika Serikat.

Tentu saja, tak hanya Maxsasa yang hidupnya seperti itu. Masih banyak Maxsasa lain di Papua. Dan, kalau mau jujur, harta karun di Bumi Cendrawasih ini begitu bejibun. Sektor pertambangan yang paling menakjubkan. Di sana ada berbagai jenis tambang yang berlimpah ruah. Ada tembaga, emas, minyak, dan gas.

Sayangnya, kekayaan sumber daya alam itu hampir sebagian besar dikuasai perusahaan-perusahaan asing. Jadilah kebanyakan orang Papua hanya menjadi penonton di kampungnya sendiri.

Tak hanya orang Papua. Di belahan lain, di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Jawa, Bali, dan daerah lainnya di Indonesia, kebanyakan rakyat cuma jadi penonton melihat geliat perusahaan-perusahaan asing mengeruk hasil tambang dan migas.

Di Indonesia ada 60 kontraktor migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama, Super Major, terdiri ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%. Kedua, Major, terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Ketiga, perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%.

Walhasil, minyak dan gas bumi Indonesia hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua adalah perusahaan multinasional asing.

Di pertambangan batu bara, perusahaan-perusahaan China dan India berduyun-duyun masuk dengan leluasa. Mereka menguasai tambang kecil dengan membiayai perusahaan-perusahaan tambang lokal yang kesulitan pendanaan.

Membaca data British Petroleum Statistical Review, sungguh miris. Indonesia yang hanya memiliki cadangan batu bara terbukti 4,3 miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batu bara dunia, ternyata menjadi pemasok utama batu bara untuk China. Padahal, China memiliki cadangan batu bara terbukti 114,5 miliar ton atau setara 13,9% dari total cadangan batu bara dunia.

Semua itu terjadi lantaran liberalisasi di sektor tambang dan migas. Asal tahu saja, sejak 40 tahun lalu pemerintah telah membuka izin seluas-luasnya kepada perusahaan asing untuk mengelola tambang dan migas di Indonesia. Selama itu pula mereka menikmati keuntungan yang berlimpah.

Nah, akhir Februari lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Isinya, asing harus menjual 51% ke investor lokal. Menurut aturan yang baru itu, asing hanya berhak atas 49% saham perusahaan tambang di Indonesia. Selebihnya harus dijual secara bertahap setelah lima tahun berproduksi atau harus tuntas pada tahun ke-10 sejak awal berproduksi.

Aturan itu merinci tahapan divestasinya. Ambil contoh, asing memiliki 100% saham perusahaan tambang di Indonesia. Mulai tahun keenam hingga tahun kesepuluh, dia harus menjual 10% saham per tahun hingga tahun kesepuluh jumlah saham yang dilego mencapai 51%.

Nah, yang pertama kali mendapatkan hak membeli jatah saham divestasi itu adalah pemerintah pusat. Jika tak sanggup, hak ini beralih ke pemerintah daerah. Bila daerah menyerah, BUMN dan BUMD dipersilakan masuk melalui mekanisme lelang. Kalau tak sanggup juga, investor lokal berhak membeli jatah divestasi itu.

Aturan tinggal aturan. Buktinya, tak satu pun perusahaan yang patuh padabeleid ini. Alasannya, kontrak karya yang telah disepakati sebelumnya dengan pemerintah.

Jadi, sampai kapan tambang dan migas Indonesia terus dikuasai oleh asing? Ah…, entahlah.

Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di majalah InilahREVIEW edisi ke-05 Tahun II yang terbit Senin, 1 Oktober 2012. [tjs]

Tinggalkan komentar