Zum Ewigen Freiden, Perdamaian Abadi Dunia Kant

Oleh: poetraboemi.wordpress.com

“Kondisi perang akhirnya akan membawa manusia pada satu kondisi di mana mereka memimpikan keadaan damai. Mereka menyebar ke berbagai penjuru dunia, mencari kedamaian atas tuntunan perang di bawah bimbingan alam…”  Immanuel Kant (Zum Ewigen Frieden, 1795).

Muqaddimah

Orang lebih sering melihat Kant sebagai seorang moralis dan kritikus pengetahuan, daripada politikus yang menghasilkan sebuah mahakarya pemikiran politik. Kant lebih cenderung dikenal karena buku-buku kritik dan metafisiknya daripada buku politiknya, yang termaktub dalam Zum Ewigen Freiden. Padahal, ide politik Kant tak dapat dipungkiri telah menjadi satu sindrom yang telah menggejala di seluruh dunia. Sebuah sindrom universalitas manusia, yang menjadi salah satu pijakan bagi gerakan Humanisme internasional saat ini. Namun, di sini anda tak akan menemukan pembahasan tentang gerakan humanisme lebih lanjut. Tema yang akan dibicarakan akan lebih difokuskan pada pemikiran politik Kant itu sendiri. Tema ini menjadi topik utama di pembahasan kali ini bukan karena keunggulannya di antara pemikiran Kant yang lain. Semua pemikiran Kant tentu memiliki keunggulan-keunggulan dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Jadi, tema ini diangkat hanya untuk melihat bagaiamanakah konsep politik yang ditawarkan Kant itu. Apakah konsep politik yang diberikan Kant berupa konsep politik yang mengagungkan kebebasan individu seperti yang ditawarkan Locke, ataukah sebuah konsep yang menjadi bayang-bayang pemikiran politik Machiavelli yang menjunjung absolutitas sebuah kekuasaan? Pemikiran Kant akan segera nampak setelah satu-persatu bagian-bagian dari konsep politiknya dibedah. Pembahasan pertama akan menampakkan sebuah bidang besar yang berisi tentang konsep awal perdamaian pada tataran masyarakat lokal hingga taraf dunia. Di sini akan dijelaskan bagaimana perdamaian itu muncul dan dipertahankan. Pembahasan kedua akan sedikit membicarakan relevansi pemikiran Kant ke dalam realita kekinian, dalam masyarakat yang sudah mengglobal.

Dualisme manusia

Manusia hampir selalu memiliki semacam dualisme di dalam dirinya. Dualisme yang menjadikannya memasuki dua dunia yang berbeda bersamaan. Dunia keberaturan dan ketakberaturan. Dualisme entitas diri itu menampakkan dirinya sebagai “keakuan” dalam dimensi kemanusian dan keakuan dalam dimensi “kebertubuhan”. Dimensi kemanusiaan dengan semangat keberaturan dan dimensi kebertubuhan dengan ketakberaturannya.
Keinginan akan keberaturan dan ketakberaturan ini akan selalu menjadi bagian dari gerak hidup manusia. Di satu sisi mendambakan keberaturan, di sisi lain keberaturan itu tak dapat diwujudkan. Dengan dua kecenderungan ini, akan terjadilah pertarungan antara dua entitas dalam diri manusia itu. dan nampaknya tindakan manusia lebih didominasi oleh kebertubuhan daripada sisi kemanusiaannya. Sisi kebertubuhan yang menjadikan manusia cenderung melakukan tindakan onar. Manusia kemudian lebih suka hidup dalam sisi keliarannya dengan melakukan agresi, keinginan mendominasi yang lain, serakah, cinta kejayaan, dan sebagainya. Jadi keinginan manusia untuk hidup dalam keberaturan akan selalu dikacaukan oleh dominasi kebertubuhan di dalam dirinya.
Posisi yang tak menentu dan dengan segala kebimbangan dalam dirinya, maka manusia menyerahkan upaya keberaturan itu pada tangan alam. Dualisme yang ada dalam diri manusia akan selalu memunculkan pertentangan-pertentangan. Baik pertentangan dalam dirinya sendiri maupun dengan individu lain. Dengan semakin banyak pertentangan yang dihadapi manusia akan diliputi tekanan-tekanan dan perasaan akan ancaman-ancaman. Untuk meredam gejolak di dalam dirinya, maka manusia berusaha mencari jalan mengatasi tekanan dan perasaan akan ancaman-ancaman itu. Upaya itu ditemukan dalam sebuah kontrak sosial di dalam masyarakat.

Ihwal kondisi damai dan perdamaian abadi

Menjadikan hidup dalam kondisi damai, adalah bagian tersulit dalam kehidupan manusia. Karena dualisme dalam dirinya itu manusia terkadang sulit untuk mengejawantahkan keinginan baiknya. Yang muncul kemudian adalah keinginan buruk untuk menguasai yang lain seringkali memunculkan benturan-benturan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Kebebasan individu yang menjadi kodrat alami manusia, sering kali dipaksakan kepada individu lainnya. Keegoisan ini terlampau sulit untuk dapat dikendalikan manusia, sekalipun ia makhluk rasional. Dan untuk mengatasi ini diperlukanlah sebuah sistem hukum bersama yang diakui bersama pula. Sistem hukum yang dibangun dengan melandaskan dirinya pada nilai-nilai universalitas. Hukum universal ini harus dapat dipatuhi oleh semua individu. Hukum universal ini dicipta dalam rangka, memperbaiki sifat antagonistik manusia. Karena, bagaimanapun manusia lebih cenderung mengumbar sisi antagonistik dan mengabaikan moralitas dari dalam dirinya.[1]

Tapi bagaimanakah wujud hukum yang universal itu dan bagaimana mengejawantahkannya, dalam tataran praktis misalnya? Hukum universal adalah hukum yang dilandasi oleh kehendak a priori atau kehendak formal yang kemudian menjadi sebuah kesadaran moral dalam diri manusia.[2] Hukum universal ini secara kodrati ada dalam diri manusia. Karena wujud dari hukum universal ini adalah kesadaran moral, maka kepatuhan individu pada hukum berdasarkan prinsip ini adalah kepatuhan pada kesadaran akan hukum itu sendiri (an sich). Namun, lagi-lagi karena naluri alamiah manusia lebih dominan, maka hukum moral ini tak dapat menampakkan dirinya.

Perdamaian damai dapat tercipta karena sebelumnya ada “pemaksaan” hukum universal ini pada setiap individu. Individu-individu yang telah mematuhi hukum universal ini, pada akhirnyapun akan mencapai kesadaran moralnya sendiri. Jadi, sebelum kesadaran moral itu muncul, terlebih dahulu setiap individu harus dibuat tertarik atau tunduk pada hukum. Misalnya, dengan menunjukkan bahwa hukum itu dapat membawa manusia pada kedamaian dan keterjaminan hak-hak mereka. Dengan menunjukkan maksim empiris (kehendak pragmatis)[3] ini, maka individu dengan sendirinya akan mematuhi hukum. Kesadaran yang mengacu pada prinsip ini akan lebih efektif dalam menjamin keberlangsungan kondisi damai daripada kesadaran hukum berdasarkan kehendak a priori[4]. Namun, pada akhirnya, kesadaran hukum berdasar kehendak empirispun lambat-laun akan bergerak menjadi kesadaran hukum berdasarkan prinsip-prinsip moral pada hukum itu sendiri.

Jadi akan ada situasi perdamaian di mana kondisi itu tercipta karena masing-masing individu mematuhi hukum karena nilai-nilai pragmatis di dalam hukum atau karena memang ada pemaksaan di dalam kepatuhan itu. Kepatuhan hukum ini ada karena ada “keuntungan” yang didapat jika pelaku mematuhinya. Misalnya; hak jaminan atas kepemilikan kekayaan. Kekayaan yang dimiliki individu tak bisa diminta begitu saja oleh orang lain karena adanya jaminan atas kepemilikan itu. Hukum ini masih bersifat legalitas belaka dan pelaku masih dalam tataran objek hukum, siapapun, baik maupun jahat, bermoral atau tak bermoral memiliki kewajiban mematuhi hukum dan mendapatkan haknya dari pelaksaan hukum ini. Bila individu-individu enggan mematuhi hukum, konsekuensinya adalah hak mereka akan diabaikan.

Kondisi perdamaian kedua adalah di mana perdamaian itu tercipta karena kesadaran individu berkenaan dengan hukum itu sendiri. Kesadaran ini ada karena hukum dimaknai sebagai hukum “formal”, yaitu hukum yang telah mengakar di dalam kesadaran masing-masing individu. Hukum formal di sini jangan diartikan sebagai hukum yang dipatuhi karena hukum ini telah diterapkan untuk dipatuhi, tetapi hukum ini adalah hukum universal yang telah mendarah daging dalam kesadaran individu menjadi hukum moral dalam diri manusia. Di sini setiap individu telah menjadi subjek dari hukum dan hukum tak lagi mengontrolnya, tetapi hukum itu telah menjiwai dan dijiwai oleh individu-individu. Namun, kiranya hukum macam ini dapat diabaikan (karena begitu sulit mewujudkannya) ketika perdamaian itu ingin dicapai, tetapi hukum ini sangat diperlukan ketika perdamaian abadi (perpetual peace) benar-benar ingin ditegakkan. Perdamaian akan benar-benar terjamin jika hanya masing-masing individu dapat menjadi “subjek” hukum yang dijalaninya. Dengan kata lain, adanya hukum formal akan menjamin perdamaian abadi.

Dunia baru manusia yang bernama Negara

Setelah melewati masa-masa alamiahnya, manusia membutuhkan sesuatu institusi yang dapat menjamin hak-haknya. Mereka menjadi begitu rindu akan keamanan dan kedamaian, karena kepentingan-kepentingan dirinya. Masing-masing individupun akhirnya saling mengadakan perjanjian untuk melepaskan sebagian kebebasan mereka demi jaminan hak-hak mereka. Negara akhirnya menjadi satu badan yang diharapkam mampu menjamin hak-hak manusia. Hukum tanpa penegak akan sulit sekali tersupremasi.

Negara yang muncul ini hanya dapat tumbuh baik jika menjadikan konstitusi republik sebagai landasan pokok hukumnya. Konstitusi republik ini menjadi penting dikarenakan tiga pilar yang menjadi bagiannya. Pilar penyokong pertama, adalah kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan di mana setiap individu memiliki hak untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan selama kebebasan itu tak mengganggu kebebasan orang lain. Jadi, tolak ukur untuk mengetahui kapan kebebasan itu dibolehkan dan tidak, dapat dilihat dengan seberapa jauh kebebasan yang dilakukan itu berpengaruh terhadap kebebasan orang lain. Bila kebebasan itu berbenturan dengan kebebasan orang lain maka kebebasan individu ini akan segera dibatasi. Semakin nampak ada benturan kebebasan, semakin ditekan pula kebebasan individu itu. Dengan begitu, hak individu-individu lainnya akan terjamin, dengan tak perlu mengabaikan hak individu itu.[5]
Ketergantungan warga negara akan hukum yang berlaku pada negara. Ketergantungan ini, ada karena masing-masing individu ingin agar hak-haknya terjamin. Individu lain dapat menjadi ancaman serius yang dapat melanggar kebebasannya sewaktu-waktu jika tak ada “penghalang” untuk melakukan pelanggaran itu. Maka setiap individu akan merasa terayomi dengan adanya kesepakatan bersama untuk mentaati hukum dalam negara, meskipun sebagian hak individu itu dibatasi. Ini yang kedua.
Persamaan hak sebagai warganegara adalah pilar ketiga konstitusi republik. Persamaan ini menggariskan semua hak warga negara dijamin atas dasar prinsip kesetaraan. Di mata hukum universal ini (hukum moral), kedudukan setiap individu sama, yaitu mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. Tak peduli itu petani, pejabat, buruh, ataupun raja sekalipun. Tak ada diskriminasi di dalam hukum yang berdasarkan konstitusi republik.
Negara seharusnya dapat mendayagunakan tiga pilar ini dalam tataran praktis, demi mencapai kedamaian abadi. Dengan ketiga pilar ini individu sebagai warganegara dapat terjamin hak-haknya dan negara sebagai penjamin hak-hak itu dapat menjalankan tugasanya dengan baik.

Lain halnya jika hukum didasarkan pada sistem demokrasi, yang mengandalkan suara terbanyak, di mana hak-hak suara minoritas dibiarkan terbengkalai. Akan selalu muncul pemaksaan kebebasan terhadap mereka yang kalah suara di dalam demokrasi. Demokrasi bahkan berpeluang besar untuk menjadi alat legal-formal bagi penguasa untuk menindas rakyatnya—yang minoritas. Dengan suara terbanyak yang muncul dari pendukung penguasa, bisa saja kekuasaan dimanfaatkan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan penguasa. Jadi, konstitusi demokrasi ini jauh lebih rawan jika dibandingkan republikan, bahkan bila dibandingkan dengan sistem monarkhi sekalipun.[6]
Kemudian, satu hal yang membuat republikanisme dengan demokrasi begitu nampak kontradiktif adalah bagaimana keduanya memberlakukan kekuasaan di dalam negara. Republikanisme, dapat menjadi begitu baik karena memberlakukan pemisahan kekuasaan, di dalamnya terdapat kekuasaan eksekutif dan judikatif.[7] Sedangkan, demokrasi mengabaikan pembagian kekuasaan ini karena memang roda pemerintahan sekaligus pembuatan undang-undang ada ditangan rakyat. Jadi rakyatlah yang memegang kendali. Tak ada cek and balance dalam demokrasi, yang ada hanya voting, atau musyawarah mufakat, yang mengandalkan suara mayoritas.[8]

Perjanjian antar negara, perdamaian abadi warga dunia (Kosmopolitan)

Perdamaian tak akan bisa terwujud apabila antara negara yang satu dengan yang lainnya masih saling merasa terancam dan berusaha mengobarkan perang. Maka republikanisme pun harus diamalkan tidak hanya oleh satu negara, tetapi setiap negara di dunia ini harus memberlakukan konstitusi ini, baik negara kecil maupun negara besar. Tak boleh ada ada negara yang melandaskan hukumnya pada konstitusi “demokrasi”, aristokrasi, dan yang lainnya, kecuali republikanisme. Setiap negara harus memberlakukan hukum republikan yang menjujung tinggi tiga asas, yaitu; kebebasan, ketergantungan, dan kesetaraan, dengan sistem pemisahan kekuasaan dalamnya.

Langkah ini dikemudian hari akan dapat menjaga perdamaian itu, karena kedamaian di dalam setiap negara telah terjamin. Kenyamanan ini akan membuat setiap negara yang telah memberlakukan republikanisme untuk memaksa negara yang lain memberlakukan hukum yang sama. Pemaksaan ini dilakukan demi terjaminnya kepentingan (hak-hak) masing-masing negara. Negara yang berdiri dengan konstitusi lain selain republikanisme akan benar-benar mengancam perdamaian di dalam negara lain. Sedangkan, republikanisme akan mengatur negara untuk menjadi lebih teratur dan damai.
Beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh negara ketika kondisi dunia telah mencapai perdamaian dunia. Pertama, keinginan untuk mengobarkan perang di masa yang akan datang. Keinginan ini harus dilempar jauh-jauh ketika perjanjian itu disepakati. Keinginan akan sebuah peperangan hanyalah satu dari upaya untuk menyengsarakan negara sendiri dan negara lain. Jika itu dilakukan sama halnya dengan membunuh diri sendiri, sekaligus membunuh perdamaian itu. Kondisi damai ada ketika semua negara merasakan kedamaian itu. Jika ada peperangan di satu tempat di dunia misalnya, maka perdamaian itu akan terpecah. Kedua, mencampuri urusan dalam negeri orang lain adalah satu bagian dari upaya untuk merusak perdamaian dunia. Campur tangan satu negara ke dalam urusan dalam negeri sama halnya upaya intervensi satu negara dengan maksud mengganggu kebebasan negara lain. Tentunya setiap negara tak ingin kebebasan yang telah ia dapatkan dari perjanjian damai itu diganggu negara lain. Setiap negara harus berusaha melakukan kebebasannya tanpa harus mengganggu kebebasan negara lain, ini salah satu prinsip dasar perdamaian dunia, jadi tak ada yang boleh merusak prinsip dasar ini. Ketiga, ketika masa-masa perangpun setiap negara harus berusaha untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat diungkit-ungkit dan yang dapat merusak perdamaian di masa yang akan datang.[9]

Dengan negara-negara yang telah menjalankan roda kehidupan kenegaraan dengan republikanisme sebagai konstitusinya, apakah cukup menjamin keberadaan perdamaian dunia. Secara teoritis perdamaian itu akan tercapai. Karena setiap negara telah menjalankan hukum universal yang sama, dengan begitu negara-negara itu akan menghormati betul kebebasan negara lain. Namun, karena konsep awal republikanisme dalam tiap negara masih dalam taraf “legalitas”[10] dalam bernegara, maka kemungkinan munculnya pihak-pihak (baik individu maupun negara) yang dapat merusak perdamaian itu akan selalu ada. Melihat hal itu, maka harus ada kesepakatan bersama di antara nagara-negara di dunia untuk membentuk sebuah tatanan di mana dari tatanan itu kedamaian dunia dan kepentingan masing-masing negara bisa terjaga dan terakomodir dengan baik. Satu perjanjian damai dengan membentuk “negara dunia” haruslah disepakati. Dan untuk mewujudkan hal itu, maka bentuk negara yang paling sesuai adalah bentuk negara federasi yang memposisikan setiap negara berada pada tempat yang setara.[11] Negara-negara yang telah melakukan perjanjian damai ini, tidak bisa saling mengintervensi satu sama lain. Masing-masing memiliki hak yang sama.
Di dalam sistem federalisme, ada dua macam sistem kekuasaan. Kekuasaan di dalam negara bagian dan di dalam negara federasi (baca internasional) itu sendiri. Negara bagian memiki kekuasaan untuk mengatur negaranya sendiri, selama pelaksanaannya tidak berbenturan dengan pelaksanaan kekuasaan negara federasi.[12]

Refleksi kecil terhadap perdamaian abadi dan kosmopolitan Kant

Perdamaian abadi di dunia dapat muncul dengan mensyaratkan adanya konsensus di antara warga dunia untuk melakukan perjanjian damai. Namun, jika ada negara yang tidak mau melakukan perjanjian damai, tentunya perdamaian itu selamanya tak akan dapat terwujud.[13] Bagaimana mengatasi hal ini? Sayangnya Kant tak sampai sini mengembangkan konsepnya. Kant hanya melihat bahwa setiap manusia atau negara akan mematuhi hukum-hukum uiversal yang diberlakukan. Kant hanya mengatakan bahwa tak boleh ada negara yang mengehegemoni negara lain karena hak-hak negara itu bisa terancam. Kant tak pernah memberi penjelasan lebih rinci bagaimana mengontrol satu negara agar tidak menghegemoni negara lain. Bagaimana mengontrol Amerika[14] misalnya, jika hal ini dimasukkan ke dalam tataran praktis saat ini. Agaknya ini pertanyaan yang harus dicari jawabannya untuk mewujudkan perdamaian dunia yang didamba seluruh umat manusia. Yang perlu digarisbawahi dari sini, adalah Kant hanyalah seorang konseptor yang memberi konsepsi-konsepsi yang bisa saja konsepsi itu relevan untuk dilaksanakan atau bahkan dilupakan. Akan selalu ada pilihan-pilihan. Dan pilihan itu akan lebih baik jika ditujukan pada konsep perdamaian dan kosmopolitan Kant.[15]

Daftar Pustaka

Hardiman, F., Budi , Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004

———————-, “‘Bangsa Setan-setan’ dan Universalisme Lunak: Kant tentang Politik dalam Masyarakat Majemuk”, makalah peluncuran buku Kant, “Menuju Perdamaian Abadi” di Goethe Haus, Jakarta, 27 Agustus 2005

Kant, Immanuel, Menuju Perdamaian Abadi, terj. Arpiani Harun dan Hendarto Setiadi, Bandung: Mizan, 2005

Schmandt, J. Henry, Filsafat Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

[1] Kebebasan setiap individu harus dibatasi sedemikian rupa sehingga individu yang lain dapat mengekspresikan kebebasaannya. Namun karena manusia lebih cenderung mengumbar kebebasannya, satu hukum yang dapat menjamin kebebasan masing-masing individu harus dibuat.

[2] Hukum universal ini disebut juga imperatif kategoris. Imperatif kategoris (imperatif moral) menyatakan bahwa kesadaran hukum yang ada adalah sebagai kesadaran atas adanya hukum itu sendiri, bukan berdasar pada tujuan-tujuan. Meskipun akan sangat tidak mungkin ada sebuah hukum yang tidak berdasarkan tujuan sama sekali. Untuk menyatakan bahwa hukum ini tetap melandaskan dirinya pada kesadaran karena hukum itu sendiri, maka tujuan-tujuan itu muncul bukan sebagai landasan utama kenapa kepatuhan itu muncul.

[3]F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2004, hal. 147. Sebelumnnya Kant membagi maksim hukum menjadi dua. Pertama, maksim hukum a priori atau sering disebut sebagai prinsip hukum universal. Dan prinsip hukum empiris, yang kedua. Maksim hukum a priori adalah kesadaran hukum yang dapat diperoleh manusia, karena memang sudah ada dalam dirinya. Jadi hukum yang bisa diperoleh dari maksim ini tak memerlukan pengalaman, karena secara umum hukum ini sudah diakui secara universal oleh manusia. Kemudian, maksim hukum empiris. Maksim hukum ini adalah kesadaran hukum yang dapat ada karena efek-efek tindakan. Jadi hukum yang dihasilkanpun hukum yang ditaati karena adanya kebermanfaatan dalam hukum tersebut. Bisa disebut sebagai hukum “pragmatis”.

[4] Hal ini berkenaan dengan sulitnya mewujudkan kesadaran hukum berdasarkan kehendak a priori, selain itu untuk memunculkan kesadaran ini akan membutuhkan waktu yang begitu lama untuk dapat terwujud sebagai kesadaran hukum atas hukum itu sendiri. Karena dalam tataran praktis kehendak pragmatis atas hukum lebih mudah dilakukan, maka ini akan menjadi lebih efektif. Manusia-manusia yang pragmatis ini tak akan melanggar atau merusak hukum karena ia harus menjamin haknya agar tetap terjaga.
[5] Akan ada titik tengah untuk memunculkan opsi untuk tidak saling merugikan. Kebebasan individu kadang dtekan untuk menjaga kebebasan individu yang lain.
[6] Immanuel Kant, Menuju Perdamaian Abadi, terj. Arpani Harun dan Hendarto Setiadi, Bandung: Mizan,2005, hal.55. Kerawanan di sini dilihat dalam upaya untuk mensupremasi hukum. Di dalam sistem demokrasi, supremasi hukum akan sulit sekali terwujud karena konstitusi ada sepenuhnya di tangan rakyat. Namun, masalah supremasi hukum tidak hanya menjadi momok bagi negara dengan sistem demokrasi ini saja, tetapi semua sistem konstitusi yang ada akan selalu menghadap masalah dengan supremasi hukum. Supremasi hukum ini, tidak hanya membutuhkan sistem konstitusi yang baik, tetapi yang juga harus dilihat adalah pelaksana hukum itu. Supremasi hukum tak akan berjalan bila “pelaku hukum” tidak secara sungguh-sungguh ingin melaksanakan hukum.
[7] Pemisahan ini menjadikan cek and balance antara eksekutif (selaku penjalan roda pemerintahan) dengan judikatif (selaku pembuat undang-undang) dapat berjalan dengan baik.
[8] Demokrasi yang disebutkan Kant ini memang nampak aneh bila dilihat dari kacamata kemodernan. Mungkin, model demokrasi saat ini adalah model yang telah mengalami modifikasi, dari demokrasi murni seperti yang dinyatakan Kant, menjadi demokrasi seperti saat ini yang hampir-hampir mencirikan republikanismenya Kant.
[9] Immanuel Kant, Op.Cit. 41-43. Ada masalah serius dalam poin ketiga jika kosmopolitan ingin diwujudkan. Ketika ada keinginan untuk melakukan perdamaian yang mensyaratkan bahwa semua negara harus memberlakukan hukum republikan yang tidak membolehkan negara yang melakukan cara-cara kotor, maka negara yang telah melakukan cara-cara itu tak akan bisa masuk ke dalam lingkup perdamaian dunia. Dan tentu mungkin saja tak hanya satu atau dua negara yang melakukan cara-cara kotor ketika masa-masa perang. Lalu bagaimana menciptakan perdamaian dunia jika di antara negara-negara dunia yang karena perbuatan di masa lampau itu tak dapat masuk ke dalam perjanjian damai. Karena dikhawatirkan negara yang dalam masa perang dicurangi akan menuntut kecurangan negara-negara yang menggunakan cara-cara kotor itu. Tentu ini bagian yang cukup sulit dalam konsep perdamaian Kant. Konsep Kant terkadang nampak begitu kaku, sehingga akan sulit sekali untuk merealisikannya ke tataran praktis. Seperti halnya pada poin ketiga ini, karena adanya kekhawatiran tadi, Kant terlalu menyandarkan konsepnya pada tindakan preventif dengan agak mengesampingkan tindakan praktis yang dapat dilakukan. Bila, poin ketiga ini benar-benar dilakukan dalam perjanjian perdamaian maka akan selamanya perdamaian dunia tidak akan terwujud.
[10] Taraf di mana setiap individu mematuhi peraturan karena adanya tekanan dari negara. Perdamaian abadi akan benar-benar tercapai bila individu-individu memiliki kesadaran akan hukum imperatif kategoris.
[11] Konsep kerajaan dunianya Dante Alegheire tak nampak pas untuk kosmopolitannya Kant, karena konsep ini mengisyaratkan kekuasaan di mana ada satu negara adi kuasa yang memimpin negara-negara yang lain. Dengan begitu konsep ini akan menciptakan despostisme baru, sama seperti konsep demokrasi yang kekuasaan negaranya ada ditangan rakyat. Konsep negara dunia yang nampaknya pas untuk kosmopitannya Kant adalah bentuk kekuasaan otokrasi, dengan bentuk pemerintahanan republikanisme. Di mana hanya kuasa dipegang satu orang (raja, presiden) dengan diawasi oposisian (legislatif, rakyat). Dengan begitu despostisme tak akan muncul.
[12] Kekuasaan hukum universal negara federasi inilah yang akan menjadi penjamin perdamaian dunia dan setiap negara bagian harus benar-benar mematuhinya.
[13] Contoh kasus seperti ini dapat dilihat dengan kondisi PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) saat ini, di mana Amerika Serikat sebagai negara superpower sering mengabaikan konsensus yang dihasilkan PBB. Bahkan terkadang kebijakan PBB lebih sering dinahkodai Amerika.

[14] Kant tak pernah melihat Amerika, yang begitu dominan dalam segala hal. Tentu negara model ini tak akan mau menyerakan sebagian kebebasannya demi memperoleh hak kecil yang akan didapat dari perjanjian itu. Bukankan dengan menjalankan kebebasannya dengan sepenuhnya ia akan mendapat keuntungan yang lebih. Dan mungkin satu-satunya cara yang mungkin adalah membentuk konsesus bersama di antara Negara-negara untuk berusaha menekan negara-negara yang tak mau melakukan perjanjian. Namun, inipun menjadi bagian yang juga sulit, karena bukannya tak mungkin negara yang tak mau melakukan perjanjian damai itu tak hanya satu. Belum lagi adanya kekuatan-keuatan non-negara yang seringkali memiliki peranan yang penting dalam percaturan politik dunia. Ini juga merupakan masalah yang pelik untuk ditangani. Dengan begitu sulit sekali mewujudkan perdamaian dunia, apalagi perdamaian abadi. Tapi, kemungkinan untuk menciptakan perdamaian duniapun masih terbuka lebar untuk tercipta.

[15] Namun, ketika pilihan itu ingin dilaksanakan, maka lagi-lagi permasalah yang muncul adalah supremasi hukum yang ingin ditetapkan. Permasalahan ini hampir selalu ada dalam sejarah kenegaraan manusia. Dan dapat dipastikan bahwa belum ada negara yang benar-benar mensupremasi hukum betul-betul. Maka,dari itu tugas yang diemban manusia modern saat ini, bila ingin menggapai perdamaian dunia adalah mencari jalan agar hukum benar-benar disupremasi, karena teori-teori atau konsep-konsep yang ada saat ini sudah cukup memberi gambaran untuk melihat apa itu perdamaian dunia. Yang harus dicari saat ini hanyalah bagaiman mengimplementasikan konsep-konsep itu ke dalam tataran praktis.

Tinggalkan komentar