Massacre Macassar (In Memorium Korban 40.000 Jiwa)

13164015351602187251Oleh: Indra Sastrawat (Kompasiana)

Belanda butuh waktu 350 tahun lamanya ingin menguasai nusantara yang terbentang dari Sumatera hingga Papua, korban jiwa pun berjatuhan sebagian besar adalah penduduk pribumi. Bukti kekejaman bangsa Belanda sangat banyak, salah satu bukti kekejaman Belanda adalah pembantaian yang dilakukan Raymond Wasterling komandan Depot Speciale Troepen – DST (Depot Pasukan Khusus) di Sulawesi Selatan.

Kehadiran pasukan khusus ini tidak ubahnya sebagai mesin jagal, bayangkan saja dalam kurun tiga bulan dari Desember 1946 sampai Februari 1947, DST dan Wasterling membantai kurang lebih 40.000 jiwa.

Salah satu tragedi pembantian yang beritanya sempat sampai ke Eropa adalah tragedi pembantaian di kampung Jongaya pinggiran Kota Makassar. Pagi buta sekitar tanggal 12 Desember 1946, Wasterling yang kerasukan setan membangunkan semua penduduk kampung. Penduduk dikumpulkan di lapangan terbuka dengan maksud mencari para pejuang Republik.

Karena buruannya tidak ketemu, Westerling mengamuk pistol miliknya meletus diikuti timah panas milik pasukan jagal DST, membunuh barisan rakyat tak berdosa. Jertian histeris dan kesakitan menyayat hati di pagi buta itu, mayat-mayat bergelimpangan, ditinggalkan tanpa di kubur.

Beruntung seorang bisa selamat dari peristiwa itu, namanya Raden Atmajaya. Dialah yang kemudian hari menuliskan surat rahasia tentang pembantaian Makassar ke negeri Belanda dan Eropa dengan judul Massacre Macassar (Pembantaian di Makassar).

Ikhwal kedatangan Wasterling

Sejak Belanda mendarat kembali api peperangan pun di kobarkan rakyat Sulsel. Peristiwa heroik 23 Januari 1946 dan Masamba Affair 29 Oktober 1946 adalah bukti perlawanan rakyat Sulsel, perlawanan sengit juga terjadi di poros Pare Pare – Maiwa dan Poros Makassar-Jeneponto.

Dan seperti yang tercatat dalam sejarah daerah Aceh dan Sulawesi Selatan merupakan daerah terakhir yang ditaklukan Belanda. Bone, Sidrap, Toraja baru bisa ditaklukan sekitar tahun 1905-1906 menyusul jatuhnya kota Palopo sebagai pusat kerajaan Luwu yang wilayahnya meliputi Luwu,Toraja, Kolaka dan Poso. Bekas kekalahan ini rupanya masih membekas di dada orang Bugis Makassar dan ketika Belanda ingin kembali menguasai Sulawesi pasca Kemerdekaan, semangat siri na passé dibalut dendam kesumat membakar semangat rakyat Sulsel, maka meletuslah perlawanan heroik rakyat Sulsel.

Perlawanan rakyat Sulsel umumnya di pimpin oleh para pejuang dari tanah Jawa, mereka putra-putra Bugis Makassar yang sekolah dan menempuh pendidikan militer di tanah Jawa. Dengan perahu seadanya mereka berlayar ke Pulau Sulawesi dan merancang pertempuran dengan Belanda.

Entah karena terdesak dan frustasi maka tanggal 5 Desember 1946 pemerintah Belanda di Jakarta mengirim Raymond Westerling dan memberikan kekuasaan yang besar dalam mengendalikan situasi. Tidak ingin karir militernya tercoreng dan dicap gagal seperti pendahulunya, Westerling menggunakan metode sendiri dalam menumpas para pejuang Republik. Rakyat yang tidak berdosa di kumpulkan di lapangan terbuka, pejuang yang tertangkap sengaja di siksa dan di eksekusi di depan rakyat.

Perjalanan Maut sang Jagal

Perjalanan maut Weterling di mulai dari kota Makassar, selama kurang lebih sebulan di Makassar Westerling laksana malaikat maut yang menyebarkan aroma kematian ke penduduk tak berdosa. Ribuan jiwa mati menggenaskan di pistol sang jagal ini.

Setelah Makassar dan sekitarnya dianggap steril dari pejuang Republik, giliran bagian selatan Makassar yang disisir. Tidak kurang mulai dari Limbung Gowa, Jeneponto, Bantaeng, sampai Bulukumba mendapatkan timah panas Westerling. Siapa saja yang dituduh terlibat membantu pejuang Republik akan di eksekusi di tempat, seringkali eksekusi dilakukan sendiri oleh Westerling.

Kemudian keganasan Westerling berlanjut di sepanjang jalan raya Makassar, Pare Pare, Enrekang, Sengkang, Majene hingga ke Palopo. Seperti sudah jadi pola standar, Westerling mengumpulkan semua penduduk di setiap tempat yang dilaluinya, mereka kemudian di babat habis baik di lapangan terbuka maupun di rumah-rumah mereka.

Tidak hanya membunuh, Westerling dan pasukannya membakar dan membumi hanguskan banyak tempat. Kekejaman lain Westerling adalah dengan memaksa rakyat tak berdosa menggali lobang berukuran besar yang kemudian menjadi kuburan massal mereka sendiri. Ribuan hingga puluhan ribu rakyat tak berdosa mati.

Turut menjadi korban keganasan Westerling adalah pejuang Republik Andi Bau Masseppe, Abdul Muis dan Abdul Kadir, mereka disiksa dan dieksekusi di depan rakyat.

Menyoal angka 40.000

Dalam bukunya Challenge to terror, Westerling mengaku hanya menembak 600 eksterim (sebutan untuk pejuang Republik). Sedangkan pemerintah Belanda hanya mengakui 2.000 korban. Jumlah korban 40.000 pertama kali ditetapkan oleh panitia peringatan pembantian Westerling, panitia terdiri dari saksi sejarah.

Dalam peringatan setahun pembantaian Westerling di Yogyakarta, Kahar Muzakkar putra Sulsel yang dikenal sebagai pejuang dan pemberontak ini pernah berkata lantang sambil menunjuk-nunjuk Presiden Soekarno “Bung Karno lah yang akan di panggil Allah SWT, di Padang Mahsyar kelak untuk mempertanggungjawabkan 40.000 jiwa itu. Mereka semuanya gugur oleh karena semboyan Bung Karno Merdeka atau mati”. Bung Karno tertunduk dan mengucurkan air mata.

Westerling di antara Hitler, Pol Pot & Pizarro

Apa yang dilakukan Westerling bisa disejajarkan dengan keganasan Hitler yang menghabisi ratusan hingga jutaan Yahudi di Eropa, juga kekejamannya bisa disetarakan dengan kekejaman Pol Pot membantai rakyatnya sendiri di Kamboja di tahun 70an sampai 80an lalu. Bahkan dalam skala lebih kecil kesadisan Westerling bisa di sejajarkan dengan Fransisco Pizarro di Amerika latin yang membantai ribuan suku Indian dalam tempo singkat.

Melihat skala waktunya yang hanya 3 bulan, maka korban 40.000 jiwa ini bukan jumlah yang sedikit.

Kemenangan keluarga Korban pembantaian Rawa Gede di pengadilan HAM Den Haag belum lama ini, dapat menjadi pintu masuk bagi keluarga korban tragedi 40.000 jiwa menuntuk keadilan kepada pemerintah kerajaan Belanda.

Salam Kompasiana

Makassar, 19 September 2011

Tinggalkan komentar