Wayang, Manusia dan Bela Negara; Mencari Mata Air Kinasih Cinta Tanah Air

picture407Oleh: Tanti Skober

Bela negara dalam lanskap nasionalisme ketika dimaknai sebagai kinasih tanpa pamrih terhadap tanah air,pada hakikatnya merupakan komitmen kultural bersifat holistik. Di sini ada benang merah saling-silang pengaruh antarpersonal dalam mengakses kodrat manusia sebagai mahkota kebudayaan. Soalnya, mengadopsi pendapat Soeryanto Poespowardoyo bahwa kemampuan manusia bukan ciptaan perorangan tapi hasil bersama kehidupan manusia dalam masyarakatnya.
Dengan demikian dalam komitmen kultural bersifat holistiklah akan ada legitimasi kinasih tanah air itu. Dalam arti lain, bela negara ataupun nasionalisme itu tak cuma bermakna pertaruhan jas-maniah, juga bisa diartikulasi sebagai dialektika rohanisme. Maka tak aneh bila diskursus kritis di seputar bela negara kudu diposisikan sebagai perenungan substansi signifikan tentang manusia Indonesia, tentang sistem nilai budaya yang mencerahinya juga a-gregat semangat kesejarahannya.
Manusia, misalnya, ada dan menjatidiri menjadi manusia bila ada dialektika. Di dataran ini ada komunitas perbincangan baik bersifat horisontal maupun vertikal yang terus menerus diposisikan sebagai substansi humanisme. Soalnya, Allah menciptakan ma-nusia tidak untuk berkesendirian, tapi berpasangan, berkelompok, berbangsa, membineka dan terjembatani lewat dialektika global. Dengan demikian manusia bisa didefinisikan sebagai mahkluk kul-tural. Ia dihadirkan tak cuma sebagai fenomena supernatural yang jatuh dari Surga, juga bisa jadi merupakan gejala kultural yang multi dimensi Manusia Indonesia juga tak jauh dari deskripsi di atas. Bah-kan saat dikaji lebih substansional, di dataran ini ada dialektika kultural yang kian sublimatif saat diposisikan dalam perspektif filsafat eksistensialisme. Seorang Hannah Arendt , misalnya, memaknai eksitensi itu sebagai kemanunggalan manusia dengan di-alektika alam. Dalam alam paradigma Manusia Jawa, hal itu disebut sebagai kemanunggalan mikro kosmos dan makro kosmos. Artinya, ma-nusia bisa layak disebut manusia manakala bisa manjing ning sejroning kosmologi keserasian dan keselarasan antara makro kos-mos dan mikro kosmos. Di titik ini jagad cilik (mikro kosmos) merupakan bagian dari jagad gede (makro kosmos). Juga di ruang inilah Gusti dan Kawula manunggal lir manis kalawan madu. Hingga tak aneh bila Wong Jawa Umar Kayam , berpendapat bahwa manusia, tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, sungai, gunung, para lelembut, roh adalah unsur jagad yang berada dalam hubungan keteraturan, keajegan dan keselarasan.
Fenomena keselarasan jagad gede dan jagad cilik ini juga terdeskripsi dalam wacana kesenian Jawa. Savitri Prastiti Scherer meyakini bahwa konsep manunggaling jagad gede dan jagad cilik itu merupakan tipikal orkestra gamelan Jawa. Soalnya, “Dalam ga-melan Jawa pun ada kandungan konsep Kawula-Gusti. Bahkan seorang pakar gamelan Jawa, Martopangrawit menginterpretasikan Gusti sebagai Pamurba yaitu Rebab dan Gendang, sementara Kawula adalah Pamangku seperti Saron dan Gender. Di dataran ini kemanunggalan Pamangku dan Pamurba akan alirkan suara keserasian plus keselarasan. Implikasi dari keselarasan dan keserasian itu itu tentu saja melahirkan orkestra mengalun merdu yang membuat setiap telinga akan terlena mendengarnya.
Dari deskripsi singkat di atas, terefleksi adanya Manusia Indonesia yang kulturalis. Adalah manusia yang tumbuh dan berkembang dalam lanskap keselarasan dan keserasian. Dalam kajian ini, penulis berpendapat bahwa akar kultural yang dominan menjadi do-main pertumbuhan bela negara dan nasuionalisme antara lain ada pada wacana wayang.
Soalnya, wayang tampaknya tak sekedar bayang-bayang di balik kelir yang alirkan ajaran adiluhung berbudi luhur, tetapi kini kian substansional melansakapi moralitas kekuasaan elite puncak republik. Suara Presiden Soeharto dari Istana Merdeka Jakarta ke-tika menerima sowan para dalang , misalnya menuturkan seputar kosmologi Jawa dalam perspektif Pancasila plus ajaran Semar mBarbar. Pak Harto bertutur agar pengenalan diri dan sifat kodrati manusia berakar pada ilmu kasunyataan sangkan paraning dumadi serta mengakses secara kreatif adanya watak kodrati alam dalam diri manusia.
Artinya, ziarahi sejarah dialektika rohanisme tentang bela negara kudu memulai dari penelusuran nilai-nilai budaya yang melekat pada wayang. Ini penting. Terlebih lagi wayang pada ha-kikatnya merupakan perjalanan kontemplasi di atas berbagai petilasan yang menggambarkan adanya temu kebudayaan antara Nusantara dengan Asia Tenggara. Dan memang, Nusantara sebagai jembatan ke-budayaan dua benua yaitu Asia dan Australia,tentunya memiliki prospeksi posisional yang prospektif dalam hal mengakomodasi ber-bagai sentuhan globalisasi kebudayaan.
Di posisi inilah,diskursus di seputar cinta tanah air serta mentalitas revolusi Indonesia tak cuma menarik sebagai bagian sejarah kontemporer 1945-1949, juga ada agreget airmata republik yang mengalir dari mata air kultural kuno. Namun demikian, men-talitas revolusi dalam perspektif historiografi Indonesia meski masih merupakan kajian anyar dalam ilmu sejarah,tapi sejarah men-talitas tak cuma penting dalam menginter-pretasi fakta, juga di sini ada lintasan otomatis keseharian (du quotidien et de ‘automatique) yang justru tak cuma melanskapi orang per orang,juga menyeruak hingga pada tatanan kemasyarakatan yang lebih luas.
Dari deskripsi nan tiga tadi,­­yaitu wacana di seputar Manusia, Wayang dan Mentalita­­ penulis mencoba meracik formula cinta tanah air. Di sini ada unjuk tanya, “Sejauh mana Wayang sebagai kultur adiluhung bisa mencerahi moralitas Manusia Indonesia?” Juga penulis mencoba menelusuri benang merah jejak histois revolusi Indonesia ketika dengan bibir gemetar dan teriak “Merdeka!” pertahankan Merah Putih sebagai simbol nasionalisme.
Ini tentunya layak disebut ziarah sekaligus pencarian mata air moral cinta tanah air. Adalah percakapan sekaligus histeria nasinolisme di tengah stadion maha luas ketika langit-langit glo-balisasi kadang membuat kita terperangkap para paradoks humanisme aneh. Padahal, sesepuh negeri ini, sejak Diponegoro, Budi Utomo, Bung Karno, Pak Harto hingga Pak Habibie juga Pak Tri Sutrisno tak pernah letih bicarakan tentang akar cinta tanah air yang tak bisa keluar dari orbit Pancasila.
Di titik inilah pencarian mata air moral cinta tanah air dialirkan. Aliran ini mensejarah sebab Manusia Indonesia sekarang ini, seperti ditulis Prof. Dr. Slamet Iman Santoso adalah hasil dari sejarahnya. Hingga dari benang merah perspektif sejarah itu, maka proses partisipasi aktif rakyat dalam proses ketahanan nasional akan menjadi pilar-pilar kultural nasionalisme.
**

Manusia: Mahkota Kultural Pencerah Nasionalisme

Mata air kinasih kerap terpancar dari intersubyektivitas sejatining manusia.Sebab manusia adalah mahkota kultural.Yang ajaib,mahkota kultural itu pada hakikatnya simbol kesunyian dan ke-sendirian.Di titik inilah muncul kesadaran sekaligus solidaritas yang pelan-pelan menyemangati nasionalisme.Itulah sebabnya garis linier antara manusia dan nasionalisme tidak bersifat eksklusiv, tapi bergerak dalam lingkar-lingkar antarmahkota kultural itu.
Apa artinya? Manusia layak untuk sadar bahwa ia pada mulanya hanya sekedar tetes nista. Ia saat menutup diri, tak layak disebut manusia. Lagi pula,manusia itu bermula dari benih telur (ova) yang melekat pada dinding rahim perempuan itu konon amat kecil sekali. Bahkan teramat sangat kecil.Jika 200 benih telur itu di-jejerkan dalam satu deret lurus ternyata hanya mencapai kepanjangan 0,125 milimeter. Tapi ova bisa menjadi luar biasa. Ini terjadi ketika benih telur itu mendapat sentuhan pembuahan dari benih sperma lelaki. Satu ova masak bertemu dengan satu benih sperma sehat akan meghasilkan 46 chromosomes yaitu 23 chromosomes berasal dari ova dan 23 chromosomes dari sperma. Perpaduan chromosomes itu pada setiap harinya akan membelah diri menjadi dua sel, terus menerus dan lewat proses ajaib jadilah apa yang disebut: Foetus. Inilah calon makhluk berakal yang banyak disebut se-bagai manusia.
Kendati manusia tercipta, bermula dari saripati air yang hina namun keberadaan manusia sangatlah amat istimewa. “Manusia adalah mahkota serta puncak alam semesta,” tutur Hamzah dari Pan-sur, empat abad yang lalu. Lain lagi Prof. Abbas Mahmud AL Aqqad , menulis bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan sifat-sifat Ketuhanan. Sementara Syams Al Din dari Pasai, pada bad ke XVI bertutur bahwa manusia adalah penjelmaan zat mutlak yang paling penuh dan paling sempurna. Akan halnya Adinegoro menulis bahwa manusia adalah alam kecil, sebagian dari alam besar di atas bumi.
Aneka pendapat ini dalam kajian filasafat abad ke XVI menjadi acuan dalam memposisikan dan memaknai hakikat manusia. Di dataran pemikiran ini, kedudukan manusia ditempatkan pada dimensi relegius yang kokoh. Ia terposisikan pada konstruksi pusat periferial keajegan alam. Seperti sebuah samudra maha luas, manusia adalah penghubung antara Zat Mutlak dan segala penciptaanNya. A-lam mikro kosmos yang mengungkapkan alam makro kosmos. “Seperti halnya air menjadi penghubung antara ombak dan laut,”ungkap Ham-zah.
Artinya lagi,”Sebagai pangkat terakhir penjelmaan Zat Mutlak, maka manusia bisa diposisikan sebagai titik balik bagi per-jalanan kembali kepada Allah. Secara potensial manusia adalah tempat pertemuan antara tanazzul dan taraqqi, atau tempat pertemuan pengaliran keluar dan pengaliran kembali,” tulis Dr. Harun Hadiwijoyo
Meski begitu, pada awalnya tangis kelahiran sang jabang bayi, acapkali memilukan, bagai semprit masinis kereta pai ketika memberangkatkan gerbong-gerbong kereta api di atas rel-rel tua, berkarat dan goyah. Manusia terperangah. Di hadapannya kini terbentang hutan belantara realitas bahwa keberadaannya serba terbatas. Terbatas dalam segala hal, baik keberadaan eksitensi maupun kemampuan untuk mengembangkan apa yang dianggap potensial.
Manusia melangkah dengan berbagai kekalahan demi kekalahan. Setiap ia meniti hari nan tujuh, ia selalu digonjlang-ganjlingkan daki-daki dunia. Dan dalam kamar-kamar batinnya selalu ada rang-kaian-rangkaian pertanyaan. Ia harus menganalisda pertanyaan-pertanyaan itu. Ia berdialog dengan dirinya, alam, masyarakat se-kaligus dengan Tuhannya. Bahkan setiap ia berada di persimpangan jalan, selalu saja gusar; pilihan mana yang harus direguk dan dipertanggungjawabkan? Mereka menjerit, tiarap dan tertatih-tatih. Jingga ia tidak tahu, langkah apa yang bisa menjadi konstribusi agar bisa memanusia. Di sini manusia selalu saja terlempar akibat aktivitas yang terlepas dari busur absurditas perbincangan.
Manusia akhirnya dipenjara pilihan-pilihanya.
Dari dialektikia internal, manusia dipenjara akal, dipenjara naluri,dipenjara indera,dipenjara oleh perlengkapan kemanusiaannya. Ia selalu saja diguncang macam-macam pilihan. Apakah ia ha-rus mengapungkan naluri untuk menjawab selaksa dilema kehidupan? Atau ia harus bergayut pada indera perasaan setiap intervensi ke-melut mendera batinnya. Dan barangkali dengan akal segala masalah dapat diselesaikan tuntas? Ketiganya ini menghentak-hentak bagai musik rap yang melemparakan keberadaan manusia pada situasi penuh kemelut. Nyaris tak ada solusi. Ternyata perluasan wawasan berdimensi duniawi lewat naluri, akal dan indera membuat mereka ditelikung kerunyaman yang rawan. Mereka terpasung dan ditelikung mata rantai penjara humanisme.
Intervensi eksternal ternyata lebih gawat lagi. Adanya ma-teri, alam, sejarah bahkan struktur lingkungan sosial acapkali bagai penjara-penjara, bagai rudal-rudal brutal dunia yang terus menerus menggroaki keberadaan manusia. Manusia akhirnya bagai se-krup-sekrup mesin dari sebuah proyek raksasa. Dan ia selalu tidak pernah lepas dari berhala-berhala dunia, harta, sejarah, dan struktur lingkungan sosial. Hingga tak aneh bila mereka selalu saja tergelincir. Mereka terjebak pendapat bahwa untuk disebut manusia berarti harus mempunyai seperangkat status simbol. Dan dengan pongah ia amat yakin bahwa hanya cukup dengan berbisisk selembut bisikan semut, ia akan mampu membuat perubahan-perubahan mendasar sebuah kebijaksanaan. Bahkan dengan pidato hanya satu menit yang disebarluaskan mass media. ia akan mampu menggonjlang-ganjlingkan dunia lewat intervensi, pembantaiaan-pembantaian bahkan konon untuk kebiadaban ini selalu saja berkata: Demi per-damaian dan kelestarian kebudayaan universal!
Artinya manusia selalu saja diguncang dilema-dilema rumit. Dan inilah dilema abad ke abad yang tak pernah selesai. Potensi yang dimiliki untuk memperluas kesempurnaan sebagai bayang-bayang nyata kebesaran Allah justru diobrak-abrik rudal-rudal brutal duniawi. Dan manusia selalu ceroboh ! Hamzah menyebutnya ghaflat. Dan Hamzah menulis: “Adapun rupamu itu, bayang-bayang jua, namamu itu gelar-gelaran jua; dari pada ghaflatmu kausangka engkau bernama dan berupa.” Manusia akhirnya kehilangan apa yang seharusnya tetap melekat di dalam pencahariannya ialah: Nur Allah!
Maka tak aneh bila Iskandar dari Balkh pada saat sufi tua itu akan mendekati ajal bertutur arif untuk anaknya:”Anakku, sa-darilah, bahwa apa yang selama ini engkau sangka sebagai dirimu itu hanyalah ramuan dari keyakinan-keyakinan orang lain yang di-jejalkan ke dalam dirimu, tetapi ingatlah, itu bukan dirimu yang sebenarnya”
Berangkat dari pernik-pernik ilustrasi di atas, tergambar bahwa manusia adalah nihilisme ketika berada dalam kesendirian. Bahkan seorang Soeryanto Poespowardojo menuturkan bahwa manusia ketika terlempar dalam situasi tertentu butuh bentuk-bentuk pengejawantahan yang perlu direalisasikan dalam yaitu dinamika dan historitas. Artinya, keseluruhan jatidiri manusia adalah potensialitas dinamis penuh daya cipta, karsa dan rasa.
Dengan begitu, kumpul potensial pengejawantahan yang te- realisasi itu pada satu titik tertentu akan menjadi pilar nasi-onalisme signifikan. Hal ini bisa dimungkinkan manakala bela negara juga nasionalisme diperspektif dalam tatar kultural. Lagi pula nilai-nilai budaya itu pada hakikatnya merupakan kesatuan integratif yang melandasi keseluruhan kehidupan yang meliputi politik, hukum, sisitem pengetahuan, sistem religi, agama, bahasa serta kesenian. Tak pelak, di dataran pemikiran inilah manusia memposisikan sikap integratifnya dalam bela negara dan kibaran nasionalisme.

Wayang: Aji Adiluhung Pencerah Manusia Pancasila

Bila bela negara dalam lanskap nasionalisme sudah terpatri menjadi komitmen kultural holistik, maka Wayang tak bimbang penulis posisikan sebagai spices pencerah kultur Manusia Indonesia. Presiden Suharto, misalnya, di Istana Merdeka, di hadapan para dalang menggaris bawahi peranan wayang sebagai pencerah Manusia Pancasila ini. Beliau berpesan agar pengendalian diri dan sifat kodrati manusia berakar pada ilmu kasunyataan sangkan paraning dumadi, serta mengakses secara kreatif adanya watak kodrati alam yaitu samudra, maruta (angin), bumi, angkasa, surya, kartika dan dahana.
Pesan Pak Harto ini layak dijadikan acuan sublimasi perenungan di seputar formulasi Manusia Pancasila. Terlebih lagi, setiap kali menziarahi sejarah Wayang,merenungi filsafat wayang, mengkontemplasi komunitas kesenian wayang, ternyata ia bisa mempercerah nalar juga nurani. Dan memang, wayang tak cuma seni tradisional adiluhung bangsa Indonesia yang hadir sejak 1500 SM saat nenek moyang kita dilanskapi era animisme Melayu Polynesia, tetapi ia juga menjadi sosok seni yang tetap gemerlap pada setiap zamannya.
Inilah keajaiban wayang. Juga ini pula soalnya setiap kali ziarahi sejarah kuna Indonesia, kita akan tapaki perjalanan kontemplasi di atas berbagai petilasan yang menggambarkan adanya temu kebudayaan antara Nusantara dengan Asia Tenggara. Dan memang, Nusantara sebagai jembatan kebudayaan dua benua yaitu Asia dan Australia,tentunya memiliki prospeksi posisional yang prospektif dalam hal mengakomodasi berbagai sentuhan globalisasi kebudayaan.
Yang menarik, ternyata sentuhan kebudayaan Hindia lah yang terlebih dulu memasuki orbit Indonesia dibandingkan Cina. Bahkan dari berbagai penelitian bahan epigrafi dan sastra kuna serta ekskavasi arkeologi dapat dipastikan bahwa corak budaya Indonesia kuna sangat dipengaruhi budaya Hindia.
Deskripsi ini tergambar pada disertasi Dr.GAJ Hazue yang menyatakan bangsa Indonesia secara khusus suku Jawa tak bisa berkelit dari pengaruh kebudayaan Hindu. “Sehingga pada seluruh peradabannya baik materil maupun spiritual telah meninggalkan cap Hindu.”
Meski begitu,proses Indianisasi tampaknya hanya menyentuh pusat periferial elite penguasa ketimbang lapisan masyarakat bawah. Artinya, unsur-unsur budaya India tidak pernah menjadi unsur yang dominan dalam basis substantif budaya Indonesia. Hal ini juga diklaim Prof. Kern dan Dr.Brandes yang menyatakan bahwa unsur Hindu itu hanya merupakan selapis pernis belaka yang menutupi substansi kebudayaan Indonesia.
Namun demikian, Dr.R. Soekmono berpendapat lain. Ia meyakini bahwa pengaruh Hindu bukan saja mengantarkan bangsa Indonesia memasuki jaman sejarah tetapi pada hakikatnya membuat adanya perubahan-perubahan mendasar dalam struktur masyarakatnya. Dengan demikian penghidupan dan adat kebiasan pun ikut berubah.
Dari wacana inilah penulis berupaya mengakrabi Wayang. Sebab dikursus Wayang pada hakikatnya bermula dari sejatining transformasi budaya Hindu yang membayangi sejarah kebudayaan kuna Indonesia. Dan tak sedikit para pemerhati Wayang mem-perspektif kehadirannya sebagai bayang-bayang kebudayaan Hindu.
Dr. WH Rassers , misalnya berpendapat bahwa Wayang sebagai pertunjukan bayang-bayang sudah dipertunjukan bangsa Hindu jauh sebelum bangsa Indonesia mengenal teater bayang-bayang. Artinya, wayang kulit pada dataran wacana tadi bukan ciptaan asli dari orang Jawa,tetapi merupakan kolerasi Hindu-Jawa. Wayang Purwa,misalnya,diadopsi sebagai kata”parwa” yang merupakan bagian dari cerita Mahabrata. Bukti lainnya,India memiliki teater Chayanataka alias pertunjukan bayangan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Wayang berasal dan bermula dari India.
Tetapi tak sedikit juga para pakar yang tak sependapat dengan Rassers. Soalnya,Wayang Kulit dalam bentuk asli dengan peralatan serba sederhana, tak bisa disangkal lagi berasal dari Indonesia dan diciptakan manusia Jawa.Sebab ia ada,hadir dan menggejala sebelum kebudayaan Hindu datang. Bahkan Dr. Brandes meluncurkan hipotesis bahwa berbagai istilah teknis yang terdapat dalam Wayang adalah khas Jawa,bukan Sanskerta.
Dari paradoks persepsi inilah maka diskursus di seputar Wayang menjadi dialektis. Wayang, ternyata tak cuma sekedar warisan kebudayaan tetapi dalam perjalanan sejarahnya menjadi inspirator ajang kreatifitas berbagai komunitas kesenian. Sebab dalam Wayang ada refleksitas logika kebebasan budaya yang sarat nilai. Artinya,menggelar teater wayang berarti menghadirkan simpul-simpul kreatifitas yang memasuki daerah interdepedensi antarpolitik, ekonomi dan kebudayaan.
Artinya lagi,logika kebebasan budaya yang berarti kebebasan wawasan, tingkah laku dan kesanggupan untuk menerobos horizon yang diciptakan oleh situasi aktual kekinian pada hakikatnya menjadi substansi signifikan dalam teater wayang. Hal ini tak terbantahkan, sebab dalam perspektif sejarah, wayang yang bermula sebagai alat bantu upacara kepercayaan magis relegius,kini berubah menjadi sarana sosialisasi upacara politik para penguasa.
Meski begitu,Wayang tetap Wayang. Ia adalah bentuk ke-senian klasik tradisional adiluhung yang berkembang, mengalir dan tak pernah sunyi dari berbagai perbincangan kebudayaan.
Maka sejauh mana kultur wayang memberi konstribusi signifikan dalam pembentukan watak Manusia Pancasila? Untuk ini, tentu-nya kita kudu telusuri substansi wayang sebagai bentuk kesenian adiluhung yang sarat dengan simbol-simbol falsafah. Yang menarik ternyata pendekatan substansi falsafah wayang itu, pada perbincangan tertentu kudu mengacu nalar imajiner di dataran terminologi bahasa. Makna Wayang, misalnya dalam bahasa Jawa maupun bahasa Melayu berarti “bayangan”. Adapun bahasa Aceh menyebut-nya: “bayeng”. Dalam bahasa Bugis disebutnya ” wayang atau bayang”. Dalam bahasa Bikol dikenal kata: “baying” artinya “barang”, yaitu “apa yang dapat dilihat dengan nyata”.
Akan halnya akar kata dari “wayang” adalah “yang”. Akar kata kerap dimanuver dengan berbagai variasi, misalnya, “yang yong”. Variasi “yang” terdapat dalam kata antara lain “layang” yang berarti “terbang”. Adapun “yong” dalam kata “doyong” alias “miring” ( tidak stabil) Juga ada dalam kata “royong” (selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain) Juga ada dalam kata “poyang-paying” (berjalan sempoyongan, tidak tenang).
Dari terminologi bahasa tadi, maka makna Wayang dapat diinterpretasikan sebagai: Dealektika yang tak bisa berhenti. Ia adalah kegelisahan kreatif dalam paradigma “tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak kian-kemari”.
Awalan /wa/ pada /wayang/ di dalam bahasa Jawa moderen tampaknya tidak mempunyai makna apa-apa lagi. Tetapi dalam bahasa Jawa Kuna ternyata awalan tersebut masih memiliki fungsi signifikan tata bahasa.Wahiri, misalnya, yang berarti “iri hati, cemburu” sejajar dengan kata bahiri dalam bahasa Dayak.
Dengan begitu Wayang dalam kajian bahasa Jawa bisa bermakna “berjalan kian-kemari, tidak tetap, sayup-sayup”. Dalam arti lain, Wayang memiliki substansi “bayang-bayang”. Dan ajaibnya, hal ini telah terbentuk pada waktu yang amat tua ketika awalan /wa/ masih mempunyai fungsi tata bahasa.
Ituah sebabnya, boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukan itu bisa diposisikan sebagai bayangan atau memberi bayang-bayang. Lantas dalam perjalanan selanjutnya dinamakan wayang.
Awayang atau Hawayang, konon, pada waktu itu berarti “bergaul dengan wayang, mempertunjukkan wayang”. Lambat-laun wayang menjadi nama dari pertunjukan bayang-bayang atau pentas bayang-bayang.Jadi pengertian wayang akhirnya menyebar luas sehingga berarti “pertunjukan pentas atau pentas dalam arti umum, sehingga sekarang misalnya orang berbicara tentang wayang topeng.”
Pertunjukan Wayang Kulit kerap memukau bila digelar di malam hari. Soalnya, di sini ada kain putih panjang yang berfungsi multi dimensi. Dalam terminologi Wayang Kulit, kain putih itu disebuit “Kelir”.
Dalam kajian lebih mendalam “kelir” juga bermakna “tabir”. Artinya, sesuatu yang terbentang memanjang. Artinya lagi, wayang saat bergerak dalam kemanunggalan tabir, pada akhirnya menjadi sejenis misteri. Dan hidup dimungkinkan merupakan tabir misteri yang sulit ditembus secara nalar.
Yang menarik adanya kelir tanpa cahaya penyorot wayang tentu saja tak akan menghasilkan bayang-bayang. Spotlight ini disebut “blencong”. Dan ternyata blencong tak sekedar bermakna sebuah lampu minyak dengan cerat yang menjulurkan sumbu tebal, tetapi bisa berpretensi yang sarat falsafah.
Falsafah yang melekat pada blencong dapat diilustrasi dalam kajian kebahasaan. Soalnya, kata talenceng berarti “miring”. Juga telenceng bisa berarti “sumbu lampu”. Adapun enceng bermakna “arah miring”. Sedangkan benceng bermakna “miring, menyimpang dari garis lurus”. Dalam arti lain telenceng dapat diartikan sebagai “tidak sopan, menyimpang dari norma”. Dengan begitu, blencong yang terangkat dari akar kata /cang, ceng, cong,/ dapat dijabarkan sebagai “miring, mencong.”
Artinya, blencong saat mendimensikan wayang kulit di kelir putih pada hakikatnya bermakna kehidupan yang tak pernah berhenti untuk lurus normatif. Apa yang ditonton pemirsa wayang bukan bentuk asli dari wayang kulit, tapi merupakan pengembangan kreatif yang sarat falsafah, yang dicahayai pijar api blencong.Adegan tiwikrama Arjunasasrabahu, misalnya, bisa dilakukan saat tokoh sakti Arjunasasrabahu itu didekatkan dengan blencong.
Artinya, saat kita kian dekat dengan pusat kekuasaan, maka kita kerap menjadi besar. Tapi bila tak arif,pijar api blencong akan siap membakarnya.
Di samping blencong, kelir sebagai pencerah falsafah substantif wayang juga ada penyimpan wayang yang disebut “Kothak”. Adalah sebuah peti, yang tutupnya diberi pinggiran agar mudah dibuka dan ditutup.
Tapi khotak wayang mempunyai simbol khas yang kaya dengan ajaran moralitas. Sebab di sini ada maknawi “belah ketupat (pada kain berwarna), petak segi empat, petak dari sawah”. Dengan perbandingan pengertian pada kata-kata athak, athik, ethuk, mathuk, cathok dan sebagainya, jelaslah, bahwa kata-kata tersebut yang terbentuk dari akar kata thak, thik, thuk. Dan ini mengandung arti “menyentuh, menghubungkan, menggabungkan diri, bergaul secara akrab, saling menyentuh.” Di Pasundan, baik kotak maupun petak mempunyai arti “bagian dari sawah”. Demikian juga pengertian petak di Bali berarti “bagian, bagian yang dibatasi”, kotak berarti “dos”. Akar kata tik, tak dan sebagainya adalah tiruan bunyi dari benda yang bersentuhan. Peti yang bernama kotak akan memperoleh namanya dari kenyataan bahwa tutup dari peti itu justru dengan tepi atau pinggir yang saling menutup.
Di sinilah keluarbiasaan falsafah yang melekat pada khotak wayang. Dan lebih luar biasa lagi ada sarana tetabuhan yang melekat pada khotak wayang ialah kecrek.
Keprak, Kepyak atau Kecrek. Kata-kata ini dibentuk dari akar kata yang nerupakan tiruan bunyi yang ditimbulkan oleh alat tersebut.
Wayang tanpa dalang tentu saja bukan wayang. Sebab dalang berarti “orang yang mempertunjukkan wayang”. Kata dalang dapat dianggap sebagai bentuk pengulangan dengan disimilasi bentuk akar kata lang. Bahasa Melayu lalang berarti “berkeliling, memutari, mengelilingi”, sesuai juga dengan kata Jawa lalang. Hal ini mengingatkan kita pada peribahasa ambarang wayang yang secara teknis dijalankan oleh dalang dengan pengertian “berkeliling (dari rumah ke rumah) untuk mempertunjukkan wayang di sana sini”.
Dengan begitu, dalang berarti “seseorang yang berkeliling mempertuinjukkan wayang di sana-sini”. Tapi dalam kajian filsafat dalang tentu saja bermakna penggerak kehidupan. Di tangan dalanglah lakon terurai. Artinya, kehidupan inipun pada akhirnya sebuah lakon aneh yang tak pernah bisa dimengerti saat kita bertanya siapa dalang penggerak kreatifitas.
Dari deskripsi di atas maka jelaslah bahwa terminologi wayang melalaui pendekatan bahasa cenderung ngejawa. Dengan begitu, kian transparanlah bahwa wayang adalah budaya asli adiluhung Indonesia.
Dalam perjalanan panjangnya, wayang sebagai budaya asli Indonesia tak pernah berhenti mencerai Manusia Indonesia. Di era animisme, misalnya, wayang hadir di bumi ini di era Melayu Polynesia. Di era ini, nenek moyang sudah membuat batu-batu yang disebut megalith baik berupa Menhir, Dolman, Bangunan Berundak, Tahta-Tahta Batu maupun arca-arca. Semuanya ini kerap dikaitan dengan pemujaan terhadap Sang Hyang juga roh-roh.
Dan ini bisa dimaklumi sebab pada saat itu pemujaan roh nenek moyang merupakan sisi relegius. Saat itu penyembahan ditujukan pada Hyang yang kemudian menjadi bayang-bayang, hingga dikenal juga sebagai wayang. Artinya, pertunjukan wayang adalah kebudayaan Indonesia asli yang erat hubungannya dengan pemujaan “Hyang”
Disebabkan pemujaan Hyang itu kerap dilaksanakan pada malam hari, maka dibutuhkan mediator yang kelak disebut dalang. Sementara nyanyian pemujaan menjadi sinden. Bunyi-bunyian menjadi tetabuhan. Tempat pemujaan menjadi panggung alias batang pisang. Sementara lampu penerang disebut blencong.
Di era Hindu, pemujaan terhadap Hyang, tenbtu saja sudah dipengerahui agama Hindu pula. Di sini, Kitab Mahabrata dan Ramayanan tampaknya sudah dikenal masyarakat Indonesia. Ini terbukti dengan adanya relief cerita Ramayana di Candi Prambanan sekitar tahun 782-872.
Bahkan yang menarik, ternyata saat Kerajaan Kediri juga terungkap adanya pujangga Empu Kanwa menulis kitab kakawin Arjuna Wiwaha. Cerita ini tampaknya merupakan petikan dari Kitab Mahabrata bagian III.
Disamping Arjuna Wiwaha juga ditulis Kitab Agastyaparwa, Uttrakanda, Adiparwa, Bhisma Parwa, Wirataparwa, Kresnayana, Baratayudha, Gatotkacasraya yang merupakan kisah-kisah pewayangan.
Era Majapahit (1294-1478) juga menuturkan adanya perkemba-ngan pewayangan yang lebih disempurnakan. Saat itu wayang sudah diwarnai, digambar dalam kain (wayang beber) juga ada gamelan slendro. Meski begitu esensi pertunjukan wayang tidak berubah yaitu tetap untuk kegiatan kepercayaan menyembah Hyang. Di sini kitab wayang antaralain Arjunawijaya, Tantu Pagelaran, Dewaruci, Sudamula.
Setelah kerajaan Majapahit runtuh, maka pada 1522 semua perlengkapan kerajaan pindah ke Demak. Di sini, ternyata Raden Patah (1478-1518), Pangeran Sabrang Lor (1520-1521) juga para Wali di Jawa suka kesenian daerah, termasuk seni wayang. Bahkan mereka mengadakan penyempurnaan baik berupa bentuk, wujud, media pementasan. Bahkan saat itu pertunjukan wayang sudah semalam suntuk dengan adanya berbagai penambahan sarana pertunjukan. Saat itu ada jenis Wayang Ricikan yang dibuat dari tulang binatang kerbau yang ditumbuk halus. Juga saat Demak diperintah Raden Patah diciptakannya perangkat gamelan laras pelog yang pada hari-hari tertentu dibunyikan di halaman Mesjid Demak. Gamelan itu disebut Sekaten.
Saat Pajang dikuasai Jakatingkir yaitu pada 1556 diciptakannyalah Wayang Kidang Kencana yaitu wayang yang ukurannya sangat kecil. Bahkan saat itu wayang lebih disempurnakan lagi dengan dilengkapinya pakaian wayang seperti gelung , ngore, kain dodot dll.
Era penjajahan Belanda (1596-1942) adalah era penelitian Wayang secara ilmiah. Banyak pakar Belanda yang datang ke Indonesia untuk meneliti seni wayang. Di sini bisa dicatat nama seperti Ponssen, Dr. Keern, Dr.Brandes, Dr. Rassers, Proif. Dr. GAJ Hazeu, Prof. Dr. Gonda dll.
Era kemerdekaan RI adalah era wayang kulit menjadi milik nasional secara utuh. Bahkan wayang diakui sebagai puncak kebudayaan bangsa Indonesia. Wayang bukan hanya milik dalang dan wadya balanya, tetapi sudah menjadi milik masyarakat. Dan tak aneh bila wayang akhirnya menyatu dengan berbagai universitas.
Dari diskursus wayang di atas, terefleksilah wacana di seputar mentalitas Manusia Pancasila. Bahkan tak sedikit elite Indonesia yang memposisikan jatidirinya lewat simbol-simbol pewayangan. Suatu saat orang lebih sreg memakai watak sinatria Arjuna dalam mengakses humanisme cinta tanah air. Juga ada yang lebih suka mengakses ujaran Semar sebagai ajaran moral yang layak dijadikan referensial berbagai kebijakan. Yang pasti, berangkat dari keadiluhungan kultur wayang inilah, mentalitas bangsa Indonesia mengalir hingga jauh.
**

Bela Negar,Kalung Kehormatan Revolusi 1945

Revolusi Indonesia 1945-1949 adalah drama luar biasa! Ada-lah sejarah suatu bangsa yang bisa bicara :Merdeka atau Mati! Yang di dalamnya terdapat kompleksitas dilema melingkar-lingkar antara realita dengan mitos, antara proyeksi dengan prospeksi, antara getaran bibir dan gemeretuk obsesi. Maka, mengutip Colin Wild dan Peter Carey menyatakan dengan tandas bahwa revolusi Indonesia adalah kebangkitan sebuah bangsa yang amat lama ditentukan nasibnya oleh bangsa asing, namun di tangannya sendiri “menggenggam untaian sejarahnya serta menjalin untaian itu menjadi kalung kehormatan bangsa.”
Bagi penulis, inilah drama patriotisme ketika bela negara terintegrasi lewat pola 3 in 1 yaitu manusia religi, manusia kulturis adiluhung dan histeria kerakyatan. Di titik inilah, 3 in 1 alirkan sejarah mentalitas. Seorang Dr. J Kadjat Hartojo mengidentifikasinya sebagai bentuk kabur dalam budi yang kehi-langan gaung. Adalah kata-kata yang kandas tanpa konteks, ser-pihan-serpihan sisa yang sudah kehilangan sebagian besar maknanya yang semula. Soalnya di sini ada perasaan, impian, ilusi, citra kolektif, endapan populer dari ajaran-ajaran lama, pandangan, konsepsi, sikap, perilaku; adalah sejenis refleksi elementer yang bergerak di dataran historiografi.
Apa artinya? Bela negara di era drama revolusi itu dapat diposisikan sebagai kepedulian nasionalisme yang mencuat dari dialektika rohanisme. Pada aspek kejiwaanlah terdapat kekuatan pendorong untuk mengadakan perubahan sosial, pertarungan tata nilai lama versus tata nilai baru dan histeria kebebasan. Mereka tak cuma berteriak “Merdeka!”, juga memaklumatkan integritas kepribadian Indonesia yang mandiri. Memang, implikasi dari aspek kejiwaan dan pertarungan itu memungkinkan lahirnya penyimpangan perilaku di dataran situasional anomali yaitu adanya konflik-konflik politik yang mencekik, tapi mereka menyadari bahwa perang Bratayhuda dalam wacana wayang pun memuat ikhwal penyimpangan kejiwaan itu.
Yang pasti, bela negara saat itu lahir amat dramatis. BKR, misalnya, meski bukan suatu organisasi militer, tetapi aktivitasnya bersifat keprajuritan. Maka tak aneh bila pidato Bung Kar-no pada 23 Agustus 1945, meyakinkan rakyat Indonesia bahwa prajurit dalam Tentara Kebangsaan Indonesia akan direkrut dari BKR. Dan memang dalam perjalanan selanjutnya BKR menjadi Tentara Nasional.
BKR di Surabaya terbentuk pada 9 September 1945 yang ber-markas di Gedung HVA untuk wilayah Jawa Timur, sedangkan wilayah keresidenan Surabaya mengambil markas di paviliun GNI. Yang menarik dari kinerja BKR yang beranggotakan 1500 pemiuda di Surabaya itu adalah dalam waktu singkat, seperti dituturkan Ruslan Abdulgani (1991:6) mampu merebut berbagai peralatan perang Jepang. Tercatat 19.000 senapan, 700-8465 pistol otomatis,422-700 senapan mesin ringan, 480-504 senapan mesin sedang, 148 granat, 17 meriam infantri, 63 mortir,400 mortir baru,15-25 meriam anti tank, 62 panser dan 1990 kenderaan bermotor.
Hal menarik lainnya ialah BKR Surabaya ini sepanjang Septem-ber hingga Nopember 1945 masih enggan berganti nama menjadi TKR. Dengan demikian, di Surabaya ada dua kelompok pasukan tempur yaitu BKR dan TKR. Dan baru memannunggal menjadi TKR pada awal Desember 1945.
Di Sulawesi Selatan revolusi Indonesia ini juga berkecamuk. “Dan inilah jazirah yang hampir tak pernah sepi dari pergolakan,” papar Dr. Mukhlis ke-17, pergolakan sosial di abad ke-18, perang perlawanan lokal dari kerajaan-kerajaan di abad ke-18 hingga ke perang Bone pada dasa warsa abad ke-20. Dan dari rangkaian perlawanan inilah Dr. Ratulangi mendirikan SUDARA alias Sumber Darah Rakyat yang konon didukung raja-raja lokal plus elite tradisional Sulawesi Selatan.
Lebih jauh Mukhlis memaparkan bahwa dari dalam kancah revo-lusi ini adalah adanya keberuntungan nasib tentang bangsawan Su-lawesi Selatan yang dinilai rendah dalam hal kedidikan. Dan ini ada hikmahnya,”Karena hal ini menyelamatkan mereka untuk tidak terlibat kerjasama dengan Belanda,” ungkap Mukhlis. Maka tak aneh bila mereka telah membiayai perjuangan, menjual habis ternak, sa-wah, kebun, tanah dan warisan untuk membiayai perjuangan. Dan hampir di seluruh pusat kekuasaan tradisional wilayah Sulawesi Selatan berdiri badan-badan perjuangan dalam bentuk kelaskaran dengan berbagai nama.
Akan halnya Jogjakarta,seperti dituturkan Dr. PJ Suwarno di sebuah seminar Sejarah Lokal di Bandungan,Semarang September 1994, menyatakan bahwa para birokrat nasionalis sebenarnya sudah mempersiapkan diri sejak mereka masih berada di bawah penjajahan Jepang. Bahkan sultan sebagai kepala pemerintahan kesultanan sudah membersihkan pengaruh penjajahan Belanda. Contohnya, Sultan menggantikan nama-nama instansi pemerintahan yang berbahasa Belanda dengan bahasa Jawa atau Sangsekerta. Dengan demikian, waktu Proklamasi Kemerdekaan diumumkan pada hakikatnya birokrat Yogyakarta sudah siap baik secara organisatoris maupun personal.
Lain bangsawan Yogyakarta, lain pula Raden Tumenggung Ario Sewaka yang kelahiran Cirebon tahun 1905. Ia oleh Drs Susanto Zuhdi,MA dari Universitas Indonesia, dijadikan acuan faktual di-namika politik di Jawa Barat di era pendudukan Belanda. Ditutur-kan Susanto bahwa Sewaka setelah Proklamasi Kemerdekaan diangkat menjadi Residen Jakarta. Dan pada 1 April 1947 Raden Tumenggung Ario Sewaka diangkat menjadi Gubernur Jawa Barat. Dari sinilah Sewaka terlibat dengan dinamika revolusi Indonesia. Tentu saja inilah perjuangan yang maha berat. Soalnya, Wong Cerbon itu tak cuma hadapi aksi militer pasukan Belanda juga ia hadapi apa yang disebut gerakan Suria Kartalegawa dengan Negara Pasundannya. Hingga ia pada suatu saat ditangkap dan diminta tak enggan be-kerjasama dengan Belanda. Ia tolak kerjasama itu. Sewaka tidak ingin kerjasama seperti hubungan antara majikan dan pembantu. Dan akhirnya Sewaka di penjara.
Bila PJ Suwarno mengkilas-baliki daerah-daerah yang lebih cepat mewujudkan integrasi nasional dalam state integration, juga Susanto merefleksikan dinamika kebangsawanan Pasundan dalam riuh-rendah politika di Jawa Barat, maka Drs Tashadi memaparkan peran Hizbullah-Sabilillah dalam revolusi kemerdekaan. Hizbullah yang berdiri pada 14 September 1944 di Jakarta itu pada hakikatnya merupakan masyarakat baru hamba Allah yang berbakti dan taat ke-pada nusa dan bangsa, serta sebagai cadangan tentara sukarela. Di Surakarta, menurut Tashadi, Izhbullah dibentuk sekitar Juli 1945. Bahkan pada Agustus 1945 diadakan latihan kader Hizbullah Su-rakarta di asrama Kustati dipimpin Muhamad Munawar.
Di samping Hizbullah, ternyata Masyumi juga memerlukan badan perjuangan di luar kesatuan Hizbullah. Maka dibentuklah Sabill-ilah pada kongres Masyumi bulan Nopember 1945. Meski begitu an-
tara Sabilillah dan Hizbullah tidaklah memiliki perbedaan yang tajam. Hanya saja bila Hizbullah terdiri dari kesatuan pejuang umat Islam yang dikoordinasi di asrama, sedangkan Sabillilah ter-sebar di masyarakat dan dikoordinir melalui susunan organisasi di kecamatan dan kelurahan. Yang jelas, Van Dijk seperti dikutip Tashadi, satuan-satuan gerilya Islam selalu disebut Hizbullah-Sabilillah. Bahkan meski pada akhirnya Hizbullah-Sabillilah di-rekrut menjadi Tentara Nasional Indonesia sebagai aplikasi dekrit presiden 3 Juni 1947, tapi mereka tetap melekatkan identitas “Hizbullah-Sabillilah” dalam gerak kinerja ketentaraannya.
Dari berbagai catatan di atas, kian transparanlah bahwa revolusi Indonesia adalah revolusi berwajah kerakyatan yang me-rekrut berbagai bentuk lapisan masyarakat. Maka tak aneh bila tak cuma sejarawan Indonesia yang antusias ziarahi revolusi maha dasyat ini, juga tercatat para pakar nonIndonesia, seperti Audrey R. Kahin “Pergolakan Daerah pada Awal Kemer-dekaan,1990; Robert Bridsin Crib, “Gejolak Revolusi di Jakarta, 1990; Anton E.Lucas “Peristiwa Tiga Daerah Revolusi dalam Revolusi,1989; HW Frederich “Lahirnya Revolusi Indonesia,1989; juga BBC Seksi Indonesia, “Gelora Api Revolusi”,1985.
Dan, Revolusi Indonesia 1945-1949 pada akhirnya bagaikan ja-lan tak ada ujung yang setiap saat akan diziarahi para peneliti. Adalah gambar revolusi nanar yang ditulis Mochtar Lubis dengan nalar gemetar:”bahwa jalan yang kita tempuh ini adalah jalan tidak ada ujung. Dia tidak akan habis-habisnya kita tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, tidak ada ujungnya…”
***

Bela Negara, ketika kawula muda bermata merdeka.

Angkatan, tentu saja berbeda dengan angkutan. Angkatan dalam perspektif budaya politik bermakna generasi yang diangkat sejarah sebagai simbol bolamata perubahan zaman. Sementara makna angkutan adalah generasi yang diangkut sejarah sebagai generasi angguk-angguk atau mengutip Jenderal (Purn) Soemitro adalah generasi pesimis, sinis, apatis dan emosional saat berhadapan dengan budaya politik kekinian.Dengan demikian, bila “Angkutan” bersifat normatif nrimo warisan budaya politik, sementara “Angkatan” lebih berbasis pada sikap kreatif dan kritis dalam menghadapi simbol-simbol budaya kekuasaan.
Itulah sebabnya sangat mustahil, bila tokoh oprichter Budi Utomo disebut sebagai “Angkutan 1908″. Juga tidak layak bila Sukarno-Hatta dicatat sebagai “Angkutan 1928″. Mereka tentu saja kudu dinobatkan sebagai primadona Sang Angkatan 1908/1928. Bahkan pemuda Adam Malik yang lahir 1917, Soeharto (1921), Prof.Dr.Mohamad Sadli(1922), Mochtar Lubis dan Sudjatmoko (1922) wajar digeger-rerungonkan sebagai angkatan 1945.Demikian juga Mochtar Lubis (1922), Dr. Emil Salem (1930), Adnan Buyung Nasution (1934) banyak disebut-sebut sebagai angkatan 1966, bukan angkutan budaya politik 1966.
Dengan begitu, sebuah generasi yang bisa berpikir merdeka, juga mampu memproyeksikan visi kepemimpinan masa depan, dan bisa dijadikan simbol moral kesejarahan adalah layak diberi predikat Sang Angkatan! Tapi generasi gagap yang keenakan menempatkan dealektika di ketiak budaya politik penguasa,yang mencintai tanah (gusuran) air (mata) wajar diberi predikat Sang Angkutan.
Dari deskripsi muram ini, tentu saja kajian bela negara di era kekinian, seusau drama revolusi 1945, tampak mulai merumit,involutip. Ini hal yang wajar. Soalnya, seperti dituturkan sejahrawan Nugroho Notosusanto (1984) “er is niets niuws onder de zon”, bumi dalam naungan cahaya matahari tak banyak mengalami perubahan, sulit ditemukan hal-hal yang baru, mungkin bentuknya baru tapi isinya sama. Meski begitu, saya meyakini bahwa sejarah tak sekedar diskursus hitam-putih, tapi ada partikel corpus mysticum, benda aneh dan gaib yang tak pernah berhenti menclok dari generasi ke genarasi, dari angkatan ke angkatan. Dan di sinilah, saya melihat sunyi menjadi nyanyian sejarah.
Padahal, konon menurut Bung Karno, tidaklah sukar gegerkan dunia. Cukup dengan 10 pemuda bersemangat tinggi, berapi-api dalam mencintai tanah air. Maka, “saya akan dapat gemparkan dunia,” tutur Soekarno.
Sukarno,benar. Ia masih berusia 25 tahun saat dirikan Algemene Studie Club di Bandung. Dan dikibarkannya nasionalisme di antara rakyat yang terjepit situasi feodalisme dan kolonialisme. Juga catat, Hatta saat berusia 27 tahun toh sudah gemparkan Den Haag. Ia dipenjara. Lantas sejarah tak bisa lupakan pidato pembelaannya di sebuah persidangan yang diberi judul: “Indonesia Merdeka”.
Dan tak cuma Sukarno-Hatta,juga sejarah sebut deretan nama yang menjadi primadona-primadona pencerah republik, misalnya, Sutomo, Ciptomangunkusumo, Wolter Mongonsidi, Muhamad Yamin, Wahidin Sudiriohusudo, Suharto, AH Nasution dll. Mereka mencintai tanah air sejak usia masih belia.
Sutomo, misalnya, baru bersusia 19 tahun saat menggebrak kolonial lewat Boedi Oetomo yang dikomentari Harian Bataviasch Nieuwsblad sebagai “l’Evolution est en marche”, alias evolusi yang sedang berjalan. Atau catat Cipto Mangunkusumo di tahun 1907. Di usia 21 Cipto sudah bisa bikin opini kritis di koran De Locomotif. Ia paparkan adanya pemiskinan kebudayaan sebagai implikasi jerat-jerat budaya feodalisme dan kolonialisme.
Dan, mustahil republik ini lupakan Wolter Mongonsidi yang didor Belanda pada 5 September 1949. Ia saat itu masih duduk di SMP Nasional Jalan Goa 56, Makasar. Juga catat usia AH Nasution saat menjadi Panglima Divisi Siliwangi pada 1946. Ternyata ia baru bersusia 28 tahun. Juga, baru berusia 28 tahun ketika perwira muda Suharto memimpin serangan umum merebut Yogya.
Apa artinya? Usia muda sebenarnya sih bisa menjadi sebuah proyeksi citra pribadi yang eksternal bila ia mampu merekontruksi pilar-pilar nalar di lingkaran periferial patriotisme. Maka tak aneh bila di Kramat 106 Batavia pada 28 Oktober 1928,misalnya, para pemuda pecinta tanah air alirkan manifestasi persatuan yang tak pernah berhenti ditutur-ulang rakyat republik ini, ialah “Sumpah Pemuda.” Adalah “drama nasionalisme Indonesia” yang diusung kaum cendekiawan muda.
Tentunya ini ikhwal yang mengesankan. Sebab, di dataran ini ada proses ekspresi penciptaan identitas nasional, sekaligus tali pengikat kinasih di seputar kesatuan wilayah, kesatuan bangsa, dan kesatuan bahasa.
Artinya, dalam setiap jaman tampaknya perihal cinta tanah air,hanya dimiliki manusia berusia muda. Sebab hanya pemudalah yang tak enggan bermata telanjang sekaligus bertelinga lebar. Mereka bisa berpikir merdeka tanpa takut usia dipotong nasib tak bagus. Mereka menjadi agen-agen pembaruan yang aktualisasi semua potensi menjadi peluang memerdekakan bangsa. Mereka bisa bicara penuh semangat, gedor-gedor, petangtang-petengteng berkobar-kobar, corat-coret pamflet bikin sajak protes, atau teriak-teriak kibarkan kritik sosial;Semua ini mengatas namakan tanah air.
Dan seperti biasa, sikap ini dituding generasi tua sebagai penyimpangan kebudayaan. Dituding begitu, Cipto, misalnya,hanya tertawa. Ia tak enggan tercerabut dari akar primodialisme budaya Jawa. Bahkan ia, dalam kongres Budi Utomo, Agustus 1908, unjuk protes bahwa budaya dan sejarah Jawa selama berabad-abad hanya menjadi wilayah pribadi para pangeran yang tak pernah peduli akan nasib wong cilik. Tentunya ini mengagetkan. Ini bertentangan dengan petuah arif budaya Jawa bahwa, “Mulane Wong Anom sami, nulada laku utama, Wong Angung ing Ngeksiganda” (Pemuda itu perlu laku utama,contohlah manusia agung dari Mataram).Dalam arti lain, pemuda dalam cakar budaya Jawa adalah pemuda yang tak kudu keluar dari orbit wejangan jawa kuno. Bahwa pemuda itu kudu memuja sesepuh dan raja. Sebab raja adalah simbol keajegan alam semesta.
Nalar memerdeka di batok kepala pemuda seangkatan Cipto ini tampaknya tercipta sebagai implikasi Politik Kolonial Liberal (1870-1900). Dan ini bermula ketika Gubernur Jenderal GW Daendels tak sungkan mengadopsi revolusi Perancis sebagai sumber moral penghapusan sistem feodalisme di Indonesia.Juga ia mengadopsi birokrasi modern Weberian sebagai tatanan pemerintahan kolonial Belanda. Dengan begitu, saat itu atmosfir Indonesia mengalami sublimasi budaya politik. Dan ini kian menjanjikan ketika Ratu Belanda pada 1901 bersabda agar proyek pengentasan kemiskinan di kalangan bumiputra kudu diaplikasi dalam sistem Politik Etis.
Perintah Ratu Belanda itu muncul bukan dari hatinuraninya yang pengasih, tetapi cenderung disebabkan adanya suara-suara kritis elite politik Belanda. Seorang van Deventer, misalnya, di majalah De Gids tahun 1899 menulis di seputar “Een Eareschuld” alias “Hutang Kehormatan” Ia paparkan bahwa sudah tiba masanya cucuran keringat bumiputra Indonesia dibalas Belanda dengan apa yang disebut trilogi kesejahteraan yaitu “irigasi, edukasi dan emigrasi”
Meski begitu kolonial bukanlah kolonial kalau tak konyol. Aplikasi politik pengajaran Belanda ternyata diskriminatif. Ada Hollandsch Inlandsche School untuk bumiputra ada juga Hollandsch Lagere School untuk putra-putri Eropah. Meski begitu, sejarah mencatat ternyata tak sedikit para bumiputra yang bernasib baik meneruskan sekolah hingga ke Technische Hoge School (Bandung), Geneeskundige Hoge School (Jakarta).Dan, dari Edukasi inilah dihasilkan golongan elite baru yang mengalirkan pembaruan dalam berbagai bentuk pergerakan modern.
Maka benarlah Robert van Niel (1960), seperti dikutip Dr. Suhartono (1994) bahwa dari kelompok elite baru inilah paham kebangsan tumbuh dan berkembang. Dan hanya melalui pendidikanlah maka sistem sosial kolonial yang kaku bisa ditembus.
Bila Angkatan 1908 dan 1928 bisa diposisikan sebagai angkatan cendekiawan hasil dari politik pengajaran kolonial, maka angkatan 1945 tampaknya tidak secendekia angkatan terdahulu. Maklum, Belanda hanya bersemangat mendidik bumiputra hingga 1930. Seusai itu kolonial cenderung berhati-hati. Lagi pula atmosfir pengap Perang Dunia II, penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan sesudah proklamasi cenderung bukan lahan yang subur untuk bangunan pendidikan.
Meski begitu semangat 1928 tak pernah berhenti mengalir. Seorang M Dawam Rahardjo misalnya meyakini bahwa kinerja cendekia angkatan 1928 dalam pembangunan sistem pendidikan nasional seusai proklamasi kian kondusif. Hasilnya, adalah adanya kelompok intelektual-teknokrat yang menjadi arsitek lahirnya Orde Baru serta menyemangati massa mahasiswa yang melakukan demonstrasi menumbangkan Orde Lama.
Malangnya, Angkatan 1966 cenderung situasional. Gegap gempita dan yel-yel menjadi redup ketika paham nasionalisme diduniawikan dan negara tampilkan diri sebagai organisasi raksasa yang refleksikan kekuasaan hingga ke partikel substantif yang mendasar, yaitu hatinurani rakyat. Di sini ada integrasi, pemanunggalan Angkatan Bersenjata dan birokrasi negara. Bahkan, tampaknya pergerakan rakyat kian menjadi semu, dipersempit ruang geraknya plus adanya buldozer politik yang disebut depolitisasi.
Dari bangunan budaya politik yang terdeskripsi skeptis inilah saya melihat adanya fenomena angkatan pasca-1966 yang menjadi angkutan budaya politik comprachios. Malangnya, pemuda comprachios ini selalu asyik di ketiak suluk pepatah-pepitih elite di pusat pereferial kekuasaan. Tak pelak para pemerhati demokratisasi pun prihatin. Ternyata pori-pori negeri ini dalam setiap jamannya selalu menebarkan aroma pemuda yang tak sedap. Kadang tercium pemuda yang doyan sembah sungkem, menadah restu, mencari legimitasi orang tua sebagai ajang jilat-menjilat, juga pemuda beringas yang jagokan tawuran sebagai simbol identitas kejantanan. Bahkan ada juga pemuda kapstok yang pamerkan baju kebesaran orang tua sebagai identifikasi kesuksesan. Bahkan tak jarang pemuda pelapor yang lantunkan pantun:”Kalau ada sumur di ladang, boleh hamba menumpang mandi, kalau ada anggaran datang, pemuda idaman dapat dicari.”
Sisi runyam lainnya,adanya pemuda-pemudi mirip artis yang mejengkan lipstik, rok mini, dan terombang-ambing pada lingkungan pemujaan hedonisme. Apa artinya? Inilah sejatining pemuda petelor pujaan pemudi menor. Di dataran ini,bola mata kiyep-kiyep sendu, jadi idaman. Tembang cinta, patah hati, suara merenggek menjadi rutinitas keseharian. Akhirnya, saat hajat bertelor mendesak kalbu, ia menjadi pemuda cengengesan yang kesengsem kepada kebahagiaan sesaat.
Fenomena ini tentu saja sejenis aduh keprihatinan. Dan, dalam heneng-hening kamar kost, saya semakin miris menatap waktu yang terus bergulir mencetak generasi comprchios. Adalah kawula muda yang ngesod merangkak dan dibesarkan dalam sistem budaya politik kurungan ayam-ayaman. Hingga wajar bila Victor Hugo, pengarang Perancis melukiskannya sebagai kawula muda yang dihambat pertumbuhannya, serta diselewengkan corak perwujudannya. Hingga pemuda jenis ini tak lebih baik dari celengan Jamblang Cerbon. Dan tak aneh bila Goenawan Mohammad kamitenggeng, nyengir di Catatan Pinggir I; Astaga,”Jiwa suatu bangsa, jangan-jangan bisa dibonsai.”
Atau jangan-jangan gaung kebangsaan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sudah sirna direduksi lanskap hedonisme? Entahlah. Yang jelas, kini orang tak lagi peduli terhadap Merah Putih. Lihatlah mereka tetap lalu lalang di jalanan, saat di sebuah kantor, di tepi jalan, bendera Merah Putih memanjat tiang diiringi Indonesia Raya. Padahal penghormatan terhadap Merah Putih,ini perlu. Sebab dalam Merah Putih itu ada nasionalisme, budaya politik dan semangat meng-Indonesia.
Artinya,”Ide nasional harus ditanamkan kepada rakyat dan mereka harus sadar politik,” ucap Soekarno dalam sebuah rapat umum di Gedung Bioskop Oranye Groote Potsweg Cikakak, September 1929,”Meski suatu negara punya 10 ribu meriam, negara itu tetap lemah selama rakyatnya tetap seperti kecoak. ebaliknya rakyat yang tidak bersenjata, tetapi mempunyai watak dan kesadaran politik, tidak akan kalah sekali pun harus berhadapan dengan tentara.”
Retorika Soekarno tentu membuat orang tepuk tangan. Tapi tepuk-tangan,meski pun dilakukan pemuda-pemuda bermata telanjang, kadang hanya akan melahirkan keangkuhan heroisme. “Demonstrasi dan agitasi saja adalah mudah, karena tidak berkehendak akan kerja dan usaha terus menerus, “ungkap Hatta Ternyata Hatta pun berpendapat bahwa agitasi, gedor-gedor,dan demonstrasi hanya akan melahirkan kegembiraan hati bersifat sementara dan situasional. Sesaat dan terhenyak.
Angkatan tentu saja berbeda dengan angkutan. Meski begitu, sebuah angkatan ketika menjadi angkutan politik, maka yang tersirat adalah sindrom politika dalam kemasan humor kontemporer di republik hingar-bingar. Akan halnya angkatan yang diposisikan sebagai angkutan budaya ekonomi tentunya cenderung membuaya. Sejenis hewan yang selalu mangap dan siap mencaplok kenikmatan ekstase yang mengucur dari selangkangan penguasa-pengusaha.
Dengan demikian agar angkatan pasca-1966 tak terjebak lingkaran disartikulasi antara angkutan dan angkatan, maka perlu solisi bersifat holistik. Adalah solusi yang berbasis pada kebebasan merefleksikan kebudayaan. Dalam arti lain, mereka patut diberi kebebasan berwawasan, kaki dan tangan tak terbelenggu, ruang kepala terbuka, mata dibiarkan telanjang, telinga kian lebar dan biarkan indera pencium mendengus hingga ke pusat sensitif kekuasaan.
Apa ini bisa? Bisa, iya. Bisa juga sekedar obsesi sia-sia. Yang jelas, kini diperlukan komitmen kultural agar angkatan pasca-1966 memiliki kesanggupan untuk bisa menerobos atmosfir budaya politik yang kini menjadi jerat-jerat kesejarahan. Hingga dari sini lahirlah pembela-pembela negara berwawasan kebangsaan, lebih substansional plus signifikan.
***

Kesimpulan

Mencari mata air kinasih cinta tanah air, tampaknya kudu me-rekonstruksi sekaligus menziarahi sejarah,kultur dan dandanan hu-manisme Indonesia. Sebab Manusia Indonesia dalam perspektif se-jarahnya adalah sosok religi kulturalis yang tak enggan mengak-ses nilai-nilai adiluhung sebagai komitmen perjuangan. Di titik inilah manusia Indonesia memiliki mahkota kultural yang di sepanjang sejarahnya tak pernah berhenti mencerahi perjalanan bangsa-nya.
Dari kultur wayang, misalnya, dapat dipetik heroisme, humanisme,dan wacana filsafat yang melanskapi Manusia Indonesia.Ia tak cuma menjadi tontonan juga diposisikan sebagai tuntunan moral a-nak-anak republik ini. Hingga dari sisi inilah, ketika drama revolusi 1945 meletus, nilai-nilai filsafat adiluhung itu menjadi acuan mental yang monumental.
Kini, di usia Indonesia ke-50, perjalanan bela negara mulai memasuki era perumitan. Angkatan pasca-1966 tampaknya terguncang paradoksal budaya global dan terlepas dari akar kesejarahan bang-sanya. Yang malang,ternyata sebagian angkatan muda ada yang tak ogah menjadi angkutan politik sekaligus angkutan ekonomi angkatan terdahlu. Para kawula muda itu cintai republik seraya tengadah berharap adanya tetesan hedonisme. Maka di dataran muram ini yang ada hanyalah kemacetan-kemacetan kultural, pembusukan-pembusukan involutip belaka.
Maka,angkatan pasca-1966 perlu memiliki visi bela negara,se-perti yang dimiliki generasi terdahulunya, yaitu komitmen kultural bersifat holistik.

Tinggalkan komentar